Gimana pun itu, pergi dari rumah bukan solusi. Kamu melarikan diri dari permasalahan kamu yang harusnya kamu hadapi.
Perkataan Tantenya yang pernah Ayya dengar melintas dalam benaknya. Sejujurnya, Ayya tidak pernah lari dari masalah seberat apapun itu. Bahkan jauh sebelum bertemu Juna, Ayya sudah mengalami fase di mana bukan hanya ingin pergi, ia bahkan ingin menghilang dan ingin mati, namun Ayya tetap menghadapinya dan ia berhasil menjalaninya. Ayya benar-benar bertahan, dan semalaman pun Ayya tetap mencoba bertahan untuk tinggal di rumah, menunggu Juna terbangun, bisa diajak bicara, kemudian membicarakannya baik-baik. Harapannya memang seperti itu, tetapi pada kenyataannya ... Ayya tidak bisa.
Mungkin karena Ayya menaruh ekspektasi yang tinggi pada Juna, atau karena Ayya begitu mempercayai Juna, atau bahkan bisa jadi karena Ayya terlalu percaya diri bahwa Juna cukup bahagia hidup dengannya sampai ia tak akan pernah merindukan masa-masa ketika ia belum bertemu dengan Ayya, entahlah ... yang jelas, Ayya sudah menghabiskan waktunya semalaman untuk menunggu Juna, dan ketika meninggalkan Juna begitu saja pun ia menghabiskan malamnya untuk terjaga sampai akhirnya Ayya kembali dan menatap Juna yang tertidur, namun yang ia rasakan hanyalah rasa sakit. Bahkan melihat Juna saja membuatnya menangis, dan Ayya merasa bahwa ia butuh waktu untuk menata perasaannya, setidaknya sampai ia bisa berbicara dengan Juna dalam kondisi di mana semua emosinya mereda. Karena jika sekarang, Ayya tak bisa berbicara, ia hanya akan menangis, dan pada akhirnya ... Ayya yakin ia akan kalah, ia akan memaafkan Juna begitu saja, ia akan mengesampingkan nuraninya dan menganggap semuanya kembali baik-baik saja. Tidak! Tidak bisa! Ayya jelas tahu bahwa apa yang Juna lakukan tak semudah itu untuk dimaklumi dan dimaafkan, setidaknya baginya.
Wanita itu menggeret kopernya dengan menyedihkan. Ia berjalan sampai ke depan komplek dan berhasil menaiki Taxi yang kebetulan lewat di depan sana.
"Ke Beverly Dago ya Pak," kata Ayya.
Jalanan masih gelap, jelas, sekarang masih jam lima pagi, matahari bahkan belum terbit. Benar-benar waktu yang tepat untuk melarikan diri.
Ayya menatap jalanan di luar sana dengan tatapan kosongnya. Air matanya kembali jatuh dan ia mengusapnya dengan cepat. Sepanjang jalan dari rumahnya menuju tujuannya sekarang dipenuhi oleh ceritanya bersama Juna. Tempat kue basah favorit mereka, ayam geprek favorit Ayya, bakso kesukaan Juna, bahkan apotek langganan mereka yang selalu Ayya jadikan riset untuk kemajuan apoteknya. Bukan itu saja, Juna pernah membawa Ayya ke IGD rumah sakit ginjal, padahal Ayya kena usus buntu, dipikirnya ... semua penanganan Gawat Darurat itu sama, yang penting Ayya berhasil ditangani. Juna juga pernah hujan-hujanan hanya demi membeli bajigur di sekitar sini. Dan masih banyak hal lain yang Juna lakukan untuknya di sepanjang jalan ini, dan kenyataan bahwa barisan kebaikan-kebaikan Juna terkenang dengan manis di sekitar sini membuat Ayya semakin sedih.
"Neng, udah sampe."
Suara supir Taxi mengalihkan Ayya dari lamunannya.
"Oh? Oke, makasih pak," kata Ayya.
Ia keluar dari Taxi, koper besarnya kembali ia geret untuk memasuki pelataran Apartemen.
Tangisan yang sempat berhenti itu kini mulai terdengar lagi. Ayya mendekat pada Satpam yang berada di sana dan mengetok kantornya.
"Pak, bisa dibantu telponin salah satu penghuni nggak ya? Saya nggak bawa HP," katanya.
*****
Junaaa, acaranya belom beres ya?

KAMU SEDANG MEMBACA
From Home
ChickLitDi sini ada tiga pasangan yang ... yah perpaduannya mungkin tak seperti pasangan-pasangan lainnya. Maisy dengan suaminya-Dion-yang brondong dan terlihat menggemaskan di matanya. Kaureen dengan suaminya-Kun-yang posesifnya membuat semua orang berpi...