Dion memarkirkan mobilnya dengan cepat begitu sampai pelataran sekolah Freya. Salah seorang guru yang berjaga di meja depan menghampirinya untuk bertanya.
"Namanya Freya, kelas 5 E," kata Dion.
"Oh, Freya. Ini Papanya Freya ya?" tanyanya.
Dion mengerjap. Sebentar. Apa katanya? Papanya Freya? I—iya, memang Dion Papanya Freya. Tapi, kenapa sapaan ini asing sekali di telinganya ya? Biasanya Dion hanya mendengar orang-orang memanggilnya 'Omnya Freya', namun kali ini berbeda. Ia malah mendengar seseorang memanggilnya Papanya Freya.
"I—iya Bu," jawabnya dengan cepat.
"Freyanya di UKS, sebentar ya biar saya jemput dulu. Tadi Freya bilang katanya dia udah minta Papanya jemput," ucap gurunya.
Dion mengerjapkan mata, sebuah senyuman muncul di wajahnya. Wah. Apa katanya? Freya bilang kalau Papanya—Dion—menjemputnya? Wah ... apa ini Tuhan? Kenapa senang sekali mendengarnya?
"Atau mau ikut ke dalem aja?"
Sebuah pertanyaan mengembalikan Dion ke kesadarannya semula. Ia menatap guru di hadapannya dan tersenyum, "Saya ikut aja Bu, biar langsung saya yang bawa pulang anak saya," katanya. Penuh dengan kebanggaan saat ia mendeklarasikan Freya sebagai anaknya.
Bu Sri—guru yang barusan berbicara dengannya mengajak Dion untuk mengikutinya. Begitu mereka sampai di UKS, Freya menatapnya dengan ekspresi wajah yang menyedihkan dan saat Dion mendekat, tangis Freya pecah seketika.
"Ya ampun!" kata Dion.
Pria itu memeluknya dengan cepat sementara Bu Sri sengaja memberi waktu untuk Dion dan Freya, ia bahkan mengajak semua orang di UKS keluar supaya Freya bisa meluapkan dahulu emosinya.
"Aku—"
Suara Freya terbata-bata, membuat Dion mengusap kepalanya dengan sayang, "Nggak apa-apa kok," ucapnya.
Mendengar hal itu, bukannya tenang, Freya malah kembali menangis. Dion melepaskan pelukannya dan melihat dengan seksama, tangisan Freya yang ... yah, Dion sadar betul bahwa Freya masih anak kecil. Lihat saja, dia menangis dengan kencang, suaranya seperti anak kecil yang ditinggalkan oleh orangtuanya sementara ekspresinya ... jangan ditanya.
"Jangan dulu kasih tahu Bunda," pinta Freya.
"Siap, sayang. Om nggak bilang siapa-siapa kok. Eh, tadi bilang Tante Ayya sih, soalnya kamu minta dibawain pembalut dan Om nggak tahu, yang mana yang bagus. Jadi semuanya dipilihin Tante Ayya," ucapnya.
Freya menganggukkan kepalanya namun tangisnya tak juga mereda.
"Freya gimana sekarang perasaannya?" tanya Dion tiba-tiba.
Anak itu menatapnya, air mata kembali berlomba-lomba saat menuruni matanya, "A—aku kaget aja, Om ... ka—kalau kalau aku mens, berarti aku udah gede," rengeknya lagi.
Dion tersenyum. Ia mengusap kepala Freya kemudian mengusap air mata di wajahnya, "Iya, udah gede," kata Dion. Pria itu berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Freya, "Tapi nggak ada yang berubah kok. Sekalipun udah gede, Freya masih boleh nangis begini, masih boleh manja-manja sama Bunda, sama Om, sama Paman-paman dan Tante semuanya. Masih bisa kayak Freya yang seperti biasanya," ucapnya.
Freya kembali menangis, membuat Dion memeluknya lagi dan mencoba menenangkannya.
Sepanjang pernikahannya dengan Maisy, baru kali ini Freya menangis dan mengadu kepadanya, karena kali terakhir pun ... Freya hanya mau mencurahkan isi hatinya pada Ibunya, dan kenyataan bahwa hari ini Freya memanggilnya membuat Dion terharu luar biasa. Aduh, kalau dia ikut menangis, pasti memalukan ya?

KAMU SEDANG MEMBACA
From Home
ChickLitDi sini ada tiga pasangan yang ... yah perpaduannya mungkin tak seperti pasangan-pasangan lainnya. Maisy dengan suaminya-Dion-yang brondong dan terlihat menggemaskan di matanya. Kaureen dengan suaminya-Kun-yang posesifnya membuat semua orang berpi...