"Bright, aku mohon lepaskan aku..."
Kalimat yang selalu Win ulang setiap harinya. Air matanya sudah kering, Win tak bisa lagi menangis. Memohon menjadi satu-satunya cara yang bisa ia lakukan sekarang karena Bright terus saja mengabaikan. Melawan pun hanya akan membuat Bright kembali menyiksa.
Rasa sakit menjalar di sekujur tubuh Win. Memar kebiruan mewarnai beberapa sisi badannya. Seakan mati rasa, Win sudah terbiasa. Tidak ada hal lain yang bisa Win lakukan sekarang selain berharap kakaknya segera menemukan keberadaan dirinya.
Win tidak pernah tahu jika dirinya selama ini selalu diawasi oleh Bright. Bahkan di hari saat dirinya pergi ke rumah sakit bersama Gun, dia pun diikuti oleh beberapa tukang pukul keluarga Chivaare. Win sangat ingat kejadian dimana salah seorang dari mereka langsung mencengkram sebelah pergelangan tangannya dan menarik paksa. Win tidak langsung berteriak karena salah satu dari tukang pukul langsung menyodorkan pesan singkat Bright padanya untuk memerintah Win agar ikut mereka tanpa berontak. Win pun menurut, tanpa tahu apa yang terjadi selanjutnya.
"Aku akan melepaskanmu jika kau setuju untuk menggugurkan anak itu, Win."
Win segera menggeleng. Win sudah membulatkan tekat akan mempertahankan kandungannya meskipun harus dibayar dengan nyawa sekalipun. Namun Bright tetap kukuh atas pendiriannya untuk menggugurkan anak mereka. Setiap kali Win tanyakan alasannya, Bright tidak secara gamblang menjelaskan. Dia hanya mengatakan kalau anak itu hanya sebuah kesalahan. Bagi Win semua kesalahan terletak pada mereka bukan ada pada janinnya.
"Lebih baik kau bunuh aku saja, jika permintaanmu tetap menginginkan anak ini digugurkan."
Bright duduk di pinggiran kasur dimana Win terborgol. Mereka saling pandang tanpa ada sebuah percakapan yang kembali dilontarkan. Sampai usapan lembut menghampiri pipi Win.
"Win, kau tahu kita adalah sebuah kesalahan? Tak seharusnya kita bertemu dan menyalurkan perasaan cinta."
Win mengerutkan kening. Tidak memahami ke arah mana pembicaraan Bright akan bermuara. Suara kekasihnya itu berubah parau dan terdengar begitu putus asa. Baru kali ini Win mendengar suara Bright seperti ini.
"Ada apa? Beri tahu aku?"
Win menaruh tangan kirinya di pipi Bright, berharap ia mau membicarakan alasannya secara perlahan. Win cuma ingin tahu kenapa Bright sampai teguh pendirian untuk menggugurkan.
"Kau cuma akan membuat anak kita tersiksa jika terlahir ke dunia."
Win semakin tidak mengerti. Memang kenapa? Win merasa tidak ada yang salah dengan mempertahankan janinnya. Jika Bright tidak mau mengurusnya, Win tidak keberatan. Win bisa mengurusnya sendiri. Pasti kakak-kakaknya akan mengerti dan membantu membesarkannya. Win akan mencukupi segala kebutuhan bayinya sendiri. Adulkittiporn bukan keluarga biasa yang akan menderita hanya karena menghidupi satu bayinya.
"Apa masalahnya? Katakan padaku? Aku bersedia mengurusnya sendiri. Aku tidak akan meminta pertanggung jawabanmu. Aku juga tidak akan memberi tahu siapa ayah bayi ini. Aku janji, Bai. Tolong jangan gugurkan. Dia sehat. Jantungnya berdetak."
Bright menggeleng semakin keras. Tekad untuk membuat bayi itu lahir sebelum waktunya sudah bulat. Dia tidak peduli dengan segala deskripsi dramatis Win. Bayi itu akan terlahir cacat dan membuat hidupnya lebih dekat dengan kematian pula pada akhirnya. Lalu apa bedanya dengan mati sekarang?
Bright berdiri dari duduknya. Menyilakan seorang dokter masuk ke dalam kamar. Win yang paham apa yang akan terjadi selanjutnya lantas menangis sejadi-jadinya. Kakinya meringkuk menutupi perut.
"Bai, kau akan membunuh anak kita? Katakan padaku kenapa kau lakukan itu? Aku akan mengurusnya. Aku mohon. Lepaskan aku. Bai...."
"Lakukan, dokter. Jangan hiraukan dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK PEARL
FanfictionEntah ini sebuah keberuntungan ataukah kesialan saat Gun yang seorang aktor papan atas Thailand dengan bayaran termahal harus terjebak dengan drama kehidupan seorang mafia bernama Off Jumpol. Laki-laki itu membayarnya dengan nominal yang bahkan Gun...