41

1K 99 16
                                    

Usia kehamilan Gun menacapai tujuh bulan dan perutnya semakin membesar. Napas Gun pun mudah tersengal hanya karena berjalan. Sesekali dia berhenti barang sebentar untuk menarik oksigen. New yang terus bersama Gun juga merasa prihatin melihatnya begini. Off menyarankan Gun untuk memakai kursi roda namun suaminya itu bersikukuh jika dia masih mampu.

Off paling tidak bisa melihat Gun kesusahan. Saat bersama Off, Gun selalu memperlihatkan keadaan yang baik-baik saja. Tapi Off tahu jika Gun tidak baik-baik saja. Terkadang Off mendapati Gun yang meringis saat berhenti. Ketika Off menghampiri si kecil cuma tersenyum dan menenangkan Off jika tidak terjadi apa-apa, cuma bayi mereka yang menendang terlalu kuat.

Ibu Off tak kalah khawatir. Melihat perut Gun yang lebih besar dari kehamilan tunggal, membuatnya selalu diselimuti perasaan cemas. Ibu Off selalu menggandeng Gun kemana pun dan kapanpun. Terlebih saat ke kamar mandi, semua orang harus menjaganya. New juga diperintahkan untuk selalu ikut ke dalam. Pikiran buruk terus menghantui ibu Off.

Tukang pukul pun diperintahkan untuk mendampingi Gun. Setiap sudut ruangan setidaknya ada dua tukang pukul untuk berjaga. Mereka ditugaskan untuk membantu apapun yang Gun perlukan. Tidak boleh ada satu orang yang mengabaikannya.

"Sayang, pakai kursi roda saja ya? Kakimu mulai bengkak."

Off memohon sekali lagi. Matanya sendu melihat kaki kecil suaminya membesar. Off tahu, Gun tidak ingin merepotkan yang lain tapi sudah menjadi tanggung jawab mereka untuk direpotkan oleh Gun. Terlebih Gun sedang hamil.

"Tidak Papii. Gun masih bisa berjalan. Kata dokter memang wajar."

Gun masih bisa tersenyum menenangkan namun itu malah membuat Off ingin menangis sekarang. Kaki Gun sengaja Off selonjorkan di hadapannya. Sesekali memang Off mengompres kaki suami kecilnya itu agar berharap bengkaknya mereda. Sampai sebulir air mata menetes di permukaan tulang kering Gun. Gun mengerutkan dahi, diusapnya pipi sang suami. Mengarahkan untuk menatap ke arahnya. Alisnya tertaut melihat suaminya menangis.

"Kenapa Papii menangis?"

Off tak ingin menjawab. Dia hanya menggeleng.

"Katakan pada Gun? Apa karen Papii khawatir pada Gun?"

Kali ini Off menjawab dengan anggukan.

"Jika begini, harusnya aku tidak membuatmu hamil. Aku tidak suka melihatmu seperti sekarang. Aku selalu cemas setiap kali kau berjalan. Aku tidak bisa tidur. Memandangi dirimu yang cuma bisa tidur ke arah kiri dan kadang juga tidur dalam keadaan duduk membuatku merutuki diriku sendiri. Kau berharga untukku, Gun."

"Jangan mengatakan itu nanti baby dengar dan mereka sedih, Papii. Bagaimana jika baby mengira papii tidak menginginkan mereka? Papii sayang dan cinta pada baby bukan?"

"Aku mencintai kalian. Kalian hidupku."

Gun membawa suaminya dalam pelukan. Off pun menenggelamkan wajahnya dalam dekapan. Gun pun mengusap punggung Off, menenangkan. Meyakinkan suaminya kalau memang tidak ada yang perlu dia khawatirkan. Off juga sama, tak kalah erat memeluk Gun, menyalurkan rasa khawatir takut akan kehilangan suami kecilnya ini.

"Kalau nanti kau harus memilih antara aku dan bayi kita, kau akan memilih siapa papii?"

Off menengadahkan kepala, dahirnya mengerut. Tanpa jawaban, dia memilih bangkit dari posisi berbaring menjadi duduk.

"Pertanyaan macam apa ini? Aku tidak ingin menjawabnya. Memang kalian mau kemana?"

Gun meraih tangan Off yang terkepal, mengecupnya lalu tersenyum.

"Hidup ini tentang pilihan. Ada yang bahagia dan ada yang bersedih. Ada yang mati dan ada pula yang hidup. Kau boleh menjawab iya dan boleh juga menjawab tidak. Pilihan itu yang akan menuntunmu menuju akhir kehidupan. Jadi kuulangi pertanyaanku, jika memang diharuskan memilih, siapa yang akan kau pilih papii? Aku atau bayi kita?"

BLACK PEARLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang