Bianca duduk di meja makan, menikmati sarapan pagi bersama ibunya, Dian. Udara pagi yang segar masuk melalui jendela dapur, tetapi suasana di meja makan terasa dingin. Dian memandang putrinya dengan penuh tatapan aneh, menyadari betapa Bianca kini terlihat lebih pendiam dan tidak ceria seperti biasanya.
"Caca," panggil Dian sambil menuangkan secangkir teh ke cangkir Bianca. "Are you oke,?" Bianca mengangguk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. "Leon sekarang jarang main, kamu ada masalah sama Leon,?" Tanya Dian lagi.
Bianca menatap cangkir tehnya, berusaha menyembunyikan kekacauan emosinya. "Nggak papa mah, Leon lagi fokus belajar kan mau ujian"
Dian mengangguk, tapi tatapannya masih menunjukkan ketidakpercayaan yang mendalam. "Kalau ada apa-apa jangan sungkan ngomong" kata Dian.
Bianca memberikan senyum tipis, berusaha meyakinkan ibunya bahwa semuanya baik-baik saja.
Setelah sarapan selesai, Bianca mengangkat piringnya dan meletakkannya di wastafel. Ia merapikan diri sebentar sebelum naik ke kamar tidurnya. Sesampainya di kamar, dia membuka laci meja samping tempat tidurnya dan mengambil ponsel. Dengan hati-hati, ia membuka aplikasi pesan dan mengakses percakapan dengan King.
Jantung Bianca berdegup kencang saat ia melihat status pesan terakhir yang dikirimkan satu bulan lalu. Pesan itu jelas belum di terima. Ia mencoba untuk menelepon nomor King melalui telepon seluler, namun pesan suara otomatis kembali menyebutkan, "Nomor yang Anda tuju tidak aktif."
Kekhawatiran dan frustrasi menguasai dirinya. Bianca menatap layar ponselnya dengan penuh kebingungan dan ketidakberdayaan. Ia merasa terjebak dalam kebisuan yang semakin menekan, dengan harapan yang semakin memudar.
Bianca meremas ponselnya erat-erat, lalu melemparkannya ke tempat tidur. Ia duduk di tepi tempat tidur, menghela napas dalam-dalam. Setiap usaha untuk menghubungi King tampaknya sia-sia, dan semakin membuatnya meragukan segalanya. Kekecewaan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya, dan ia merasakan beban yang semakin berat di hatinya.
Dengan berat hati, Bianca berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar tanpa tujuan, berharap ada kejelasan yang segera datang.
"Katanya kita masih bisa komunikasi lewat onlen, tapi kamu ngga pernah online"
🍂
Leon berdiri di balkon kafe menatap jauh ke arah kota yang mulai meredup di bawah sinar matahari sore. Angin sepoi-sepoi mengibaskan rambutnya yang gelap, sementara Bianca berdiri di sampingnya, tampak cemas. Selama beberapa hari terakhir, keduanya tidak seperti biasanya, ada jarak yang tampaknya semakin melebar di antara mereka.
Setelah sebulan lamanya mereka tak saling tukar komunikasi ataupun sekedar menyapa, kini akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu dan bicara di kafe. Sudah lama juga Dian menanyakan Leon pada putri sulungnya, namun Bianca selalu mengalihkan pertanyaan mamahnya.
Leon menatapnya dengan mata dingin, seolah sudah memutuskan segalanya dalam benaknya. "Abis lulus sekolah aku mau ke Bali" kata Leon datar.
Bianca terkejut. "Bali? Kenapa tiba-tiba?"
Leon menghela napas panjang. "Aku harus pindah ke sana, rumah mamah di sini bakal papah jual. Jadi aku harus tinggal di sana"
Bianca terdiam sejenak, otaknya berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan Leon. "Terus kita gimana,?" Tanya Bianca dengan nyali yang ciut.
Leon menatapnya dengan ekspresi datar, seolah tak ada emosi yang tertinggal. "Terserah, aku ngga bisa bohongin rasa kecewa yang kamu buat."
"Aku nggak bakal mutusin kamu, sampai kapan pun. Sekecewa apapun aku aku ngga bakalan putus dari kamu. Tapi sekarang harus pergi, aku nggak tau kamu sama dia udah putus atau belom, aku juga nggak tau hubungan kita ini bakal sampe mana. Dan aku juga nggak tau siapa yang bakal kamu pilih"
KAMU SEDANG MEMBACA
Leon King (18+)
Genç Kurgu⚠️1821+ ⚠️ Mengandung unsur dewasa dan bahasa kasar About what? About Bianca, Leon and King... Bocil Minggir! Ini cerita ngabrutt orang dewasa