11. Desiran Hangat

1K 47 1
                                    

"Kira-kira cukup nggak segini, ya?" tanya Ana seraya menenteng 2 plastik berisi bahan yang akan digunakan untuk memasak.

"Cukup itu, ayo pulang!" ujar Syila yang juga menenteng 2 plastik. Ia berjalan terlebih dahulu ke area parkir, sedangkan Ana mengekorinya dari belakang.

Saat ini Syila dan Ana sedang berada di pasar yang letaknya lumayan jauh dari desa Hutan Mekarsari. Mereka ditugaskan okeh Bu Mulya untuk berbelanja bahan masakan. Hari ini Bu Mulya mengajak mereka ke pantai untuk rekreasi.

Syila meletakkan 2 kantong plastik belanjaan di depan motor Beat putih milik Bu Mulya. Lalu mengambil alih dua kantong plastik belanjaan dari tangan Ana.

"Ayo, An!" serunya yang sudah duduk di jok belakang motor.

Ana merengut kesal, meski begitu ia tetap menurut. Duduk di depan motor, mulai menyalakan mesin dan membelah jalanan yang tampak sepi di pagi hari.

15 menit kemudian, Syila dan Ana sudah memasuki desa Hutan Mekarsari. Ana memarkir motor begitu tiba di depan rumah Bu Mulya.

"Lama ya, guys," seru Amanda begitu Syila dan Ana masuk ke dalam rumah.

"Jauh, loh, Man,"

Amanda tergelak, "Manda tahu, loh, Syil. Udah sana kasih ke ibu biar cepet selesai!"

Syila mengangguk, kemudian ia dan Ana berlalu menuju dapur untuk menyerahkan bahan belanjaan kepada Bu Mulya.

Tepat pukul 11.00, semua makanan telah selesai dimasak. Mulai dari nasi goreng, mi goreng, serta beberapa camilan yaitu agar-agar, minuman dari semangka dan nutri sari.

"Syila, tulong ba nyo entek, beuh[1]." Bu Mulya menyerahkan satu botol besar minuman dari semangka kepada Syila.

"Geut, Bu[2]," jawab Syila.

"Yang laen, ka bereh?[3]" tanya Bu Mulya seraya membawa sebuah bakul nasi ke depan rumah.

Nafiza yang sedang duduk di atas dipan kayu mengangguk, "Ka bereh, Bu[4]."

"Beuh ka jeut ta berangkat nyo?[5]"

"Bu, kami pakai motor Iki? Nanti Iki pergi naik apa?" tanya Giska yang baru keluar dari dalam rumah.

"Iki pergi sama ibu, sekalian nanti pulangnya langsung ke dayah," jawab Bu Mulya.

Giska mengangguk, lalu mengambil kunci motor Iki di atas meja samping televisi.

"Kalian pakai motor Kak Fitri, ya. Nanti Kak Fitri pergi sama Bu Ita." Bu Mulya menyerahkan kunci motor milik Fitri kepada Nafiza. Bu Ita yang dimaksud adalah Kader Posyandu desa Hutan Mekarsari yang merupakan sahabat baiknya.

Nafiza mengangguk, lalu mengambil kunci motor tersebut.

Nafiza mulai melajukan motor milik Fitri usai Syila dan Amanda duduk di belakangnya. Sementara Giska membonceng Ana menggunakan motor milik Iki. Mereka mengikuti 2 motor yang berjalan di depannya, yaitu motor Bu Mulya dan Bu Ita.

"Eh, kita nanti naik bukit itu, ya!" ujar Syila saat mereka melewati sebuah bukit di jalanan sebelah kiri.

"Iya, Manda juga pengen naik bukit. Bosan juga kita mainnya ke sawah terus," sahut Amanda.

"Iya, 'kan. Nanti kita diskusi sama Kafi dan Septian. Semoga aja mereka mau."

"Harus mau! Eh, btw, mereka jadinya jam berapa pergi?" tanya Amanda yang baru menyadari bahwa Kafi dan Septian tidak pergi berbarengan dengan mereka.

"Nggak tahu juga tuh, katanya disuruh kabari kalau kita udah sampai, 'kan?"

Amanda mengangguk, "Emang mereka tahu jalannya?" tanyanya sangsi. Pasalnya mereka baru pertama kali mengunjungi pantai itu.

Sandyakala TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang