32. Perasaan Tak Berbalas

658 31 3
                                    

"Udah di-acc, Kaf?"

Kafi baru saja menutup laptop saat Haikal datang menghampirinya di kamar indekosnya. Hari ini, Haikal sudah berjanji untuk menginap dan membantu Kafi menyelesaikan skripsinya.

"Belum, Kal. Makanya aku minta bantu kamu," jawab Kafi, ia menyimpan laptop di atas meja, lalu menghampiri Haikal yang sedang duduk di atas ranjangnya.

"Kok baru datang sore gini? Mau magrib pula," tanya Kafi, sebab Haikal berjanji untuk datang ke indekosnya setelah ashar, tetapi ini malah sudah mau magrib.

Haikal cengar-cengir hingga membuat Kafi melemparnya dengan bantal.

"Malah senyum-senyum!"

"Sorry, Kaf. Baru pulang dari perpus, terus pulang ke kos bentar ambil baju, baru datang ke sini."

Kafi menaikkan satu alisnya. Beberapa hari ini Haikal sering sekali ke perpustakaan. Padahal, sebelumnya sahabatnya itu lebih suka mengerjakan tugas di warung kopi ketimbang di perpustakaan.

"Kok sering banget ke perpus belakangan ini? Sama siapa, Kal?" tanya Kafi penasaran.

Haikal kembali cengar-cengir, "Coba tebak," katanya.

Kafi menghela napas, ia terlalu malas bermain tebak-tebakan. Daripada menjawab pertanyaan Haikal, ia lebih memilih pergi ke dapur untuk mengambil segelas air.

"Tebak lah, Kaf. Kamu kenal sama dia." Haikal mengekori Kafi menuju dapur.

Kafi tak menghiraukan Haikal, ia lebih memilih menghilangkan dahaga dengan segelas air putih yang baru saja dituangkannya.

"Sama Syila, loh, Kaf. Masa itu aja nggak bisa nebak."

Perkataan Haikal otomatis membuat Kafi terdiam. Apa katanya? Ia pergi ke perpustakaan bersama Syila? Memangnya sejak kapan mereka dekat? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Kafi.

"Nggak berdua sih, Kaf. Sebenarnya nggak janjian juga. Waktu itu aku nggak sengaja ketemu Syila di perpus, terus ya udah aku gabung. Dia sama temannya. Ternyata dia sering ke perpus loh, makanya aku juga sering ke perpus belakangan ini," ujar Haikal memberitahu.

"Kamu dekat sama dia?" tanya Kafi setelah beberapa saat terdiam.

Haikal mengedikkan bahunya, "Kalau ditanya dekat atau nggak, aku nggak tahu bilang. Tapi belakangan aku lumayan sering chat sama dia, seru sih anaknya."

"Kamu suka sama dia?" Kafi tak bisa menahan lagi untuk bertanya.

Haikal mengangguk mantap, "Siapa yang nggak suka sama cewek kayak Syila. Udah cantik, ramah, ceria, seru juga."

Pernyataan Haikal membuat dada Kafi tiba-tiba terasa nyeri. Apa mungkin ia cemburu? Apa mungkin Kafi tidak rela jika Haikal menyukai Syila?

Haikal dapat melihat perubahan raut wajah Kafi, "Kamu kenapa?" tanyanya.

Kafi menggeleng, "Nggak apa-apa, Kal," jawabnya berusaha tersenyum.

"Kamu nggak mungkin cemburu, 'kan? Dulu aku tanya kamu suka nggak sama Syila, tapi kamu jawab nggak suka."

Kafi menepuk bahu Haikal beberapa kali, "Santai aja, Kal. Aku cuma anggap Syila teman, aku juga nggak punya perasaan sama dia. Semoga dia juga punya perasaan yang sama ke kamu, ya."

Haikal balas menepuk bahu Kafi, "Thanks, Kaf. Sebenarnya Syila itu sulit ditebak, sih. Tapi semoga aja dia juga suka aku."

Kafi mengangguk, "Semoga, ya," ucapnya tulus. Kemudian ia melirik jam di pergelangan tangannya, "Sebentar lagi mau azan, aku mau ke masjid dulu."

Sandyakala TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang