15. Aroma Kemenyan

816 38 2
                                    

"Kenapa cewekmu nangis, Kaf?" tanya Septian yang sesekali melirik Syila yang duduk di kursi kayu depan kantor desa bersama keempat temannya.

"Siapa cewekku?" balas Kafi dengan dahi berkerut.

"Halah, pura-pura nggak tahu kau ini!" cibir Septian dengan logat khas Sumatra Utara.

Kafi tertawa, "Emang nggak tahu, lagi pula aku nggak punya cewek, Sep."

"Semua orang juga tahu kamu dan Nasyila itu saling suka!" lanjut Septian.

Kafi terdiam, lalu kembali tertawa. "Perasaanmu aja itu, Sep," kilahnya.

Septian geleng-geleng kepala, "Mau sampai kapan menyembunyikan perasaanmu itu, Kaf? Kalau suka, kejar, jangan sampai menyesal."

"Untuk apa dikejar? Emangnya dia lari-lari?" tanya Kafi setengah bercanda.

"Capek lah aku ngomong sama kau. Setidaknya kalau suka itu, bilang, Kaf. Biar dia juga tahu kau suka dia."

"Kalau dia udah tahu, buat apa?"

Septian menghela napas sejenak, ternyata melelahkan bicara cinta pada temannya yang satu itu. "Ya, kalau dia tahu, dia bisa nunggu kamu. Makanya, bilang terus kenapa, sih?"

"Kalau nggak bisa kasih kepastian, sebaiknya jangan buat cewek nunggu, Sep. Prinsipku itu, kalau udah menyatakan perasaan sama cewek, artinya kita udah siap untuk menikah. Kalau belum siap untuk menikah, untuk apa ngomong suka? Mau pacaran? Big no, Sep. Bukan maksudku sok suci, hanya aja aku nggak mau ngajak-ngajak anak orang untuk buat dosa. Tanpa pacaran aja, dosaku udah banyak. Masa mau ditambah-tambah lagi? Aku nggak mau, Sep, berat, nggak akan kuat." Setelah mengatakan itu, Kafi menepuk pundak Septian dan berlalu ke kamarnya.

Septian tertegun, ia hampir saja lupa bahwa Kafi memegang teguh prinsip pacaran setelah menikah. Pastilah lelaki itu berpikir seribu kali untuk menyatakan perasaannya pada Syila, apa lagi jika belum bisa memberikan kepastian.

"Sep, jadi pergi, 'kan?"

Septian tersentak begitu mendengar suara Giska yang sudah berdiri di ambang pintu.

"Jadi pergi, 'kan?" ulang Giska.

Septian mengangguk, "Jadi dong, Bu Dokter."

Giska mendengkus, Septian selalu saja memanggilnya begitu. Padahal ia lulus saja belum. "Jangan naik becak yang kemarin, ya?"

"Terus becak yang mana juga?"

"Aku lihat ada dua becak di bawah menasah, satu yang kita pakai kemarin, satu lagi kayaknya lebih bagus. Kita pakai yang lebih bagus aja,"

"Punya siapa emang itu?"

"Punya ayahnya Bang Hendra," sahut Kafi yang baru keluar dari kamar. Lelaki itu sudah berganti pakaian dengan kaos lengan panjang bertuliskan New York 1989.

"Ya udah, pakai itu aja. Insya Allah nggak bakal nyungsep!" seru Giska antusias.

"Minta izin dulu, lah."

"Ya udah, buruan!"

Kafi mendengkus, lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi Ayah Bang Hendra. Lelaki itu hendak berjalan ke luar, namun mendadak berhenti begitu tiba di ambang pintu. "Gis," panggilnya.

"Kenapa?"

"Dia masih nangis?"

Giska terdiam sejenak, hingga akhirnya ia paham begitu melihat arah pandang Kafi.

***

"Yes, akhirnya ke suzuya!" pekik Giska kelewat senang. Saat ini ia dan keenam temannya sedang berada di atas becak yang lebih bagus milik ayahnya Bang Hendra. Perempuan itu teramat senang karena akhirnya ia bisa merasakan naik becak sekaligus akan pergi jauh dari desa Hutan Mekarsari.

Sandyakala TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang