26. Permen Yupi

697 37 9
                                    

Syila berjalan gontai begitu keluar dari gerbang sekolah tempatnya melaksanakan program magang. Dipercepat langkah kakinya menuju rumah Bu Mulya yang terletak di depan sekolah.

Kurang dari 2 menit, Syila sudah tiba di depan rumah Bu Mulya. Ia mengistirahatkan diri sejenak di atas dipan kayu. Diperhatikannya pintu rumah Bu Mulya yang terkunci, Syila bisa menebak bahwa Bu Mulya dan Amanda belum pulang.

Syila menghela napas, hari-harinya setelah KKN terasa lebih melelahkan. Bagaimana tidak? Pagi hari Syila sudah berangkat ke sekolah dan pulang siang hari, lalu setelah itu ia harus memasak lagi untuk makan siang. Belum lagi jika Amanda telat pulang, ia terpaksa harus memasak sendiri.

Lagi-lagi Syila menghela napas panjang, kemudian ia mengambil kunci dari dalam tasnya dan membuka pintu rumah. Namun, gerakan tangannya saat memutar knop pintu terhenti begitu mendengar suara motor melewati depan rumah Bu Mulya.

"Hai, Nas," sapa Kafi saat motor yang dikendarainya berhenti di depan rumah Bu Mulya.

Kafi mengulum senyum memperhatikan Syila yang terkejut melihat kedatangannya dan Haikal. Ekspresi lelah tampak jelas di wajah perempuan yang mengenakan rok sepan hitam dan baju putih serta jilbab senada yang merupakan pakaian khas mahasiswa PPL itu.

"Ngapain kalian?" tanya Syila datar.

"Baru sampai kita loh, Nas. Dipersilakan masuk dulu kek." Kafi berjalan menghampiri Syila dan duduk di atas dipan kayu.

"Kan aku nggak minta kalian datang!"

Haikal terkekeh mendengar perkataan Syila. Kemudian ia ikut duduk di samping Kafi dan bersandar di dinding. "Kamu itu kenapa galak banget, Syil?"

"Iya 'kan, Kal. Cekgu masa galak banget," timpal Kafi.

"Kafi yang ngajarin," ucap Syila asal.

Kening Kafi langsung berkerut heran, sejak kapan ia mengajari Syila untuk menjadi galak? Dari awal kenal juga perempuan itu sudah galak dan ketus.

"Mohon maaf nih, Nas. Dari awal kenal juga kamu udah galak, sejak kapan pula aku yang ngajarin?"

Syila mencebikkan bibirnya, "Padahal di awal kenal, aku tuh orangnya ramah banget, Kaf. Kamu aja yang menyalahartikan," kilahnya.

Kafi tertawa seraya menggelengkan kepalanya, "Kamu memang pintar memutarbalikkan fakta."

Syila ikut tertawa, "Aku lapar, Kaf," ujarnya kemudian.

"Terus kenapa bilang sama aku?"

"Ya, aku mau masuk, mau masak. Kamu pulang lah. Di dalam nggak ada siapa-siapa, ibu sama Manda belum pulang."

Kafi cengar-cengir, lalu menegakkan tubuhnya dan menatap Syila dengan tatapan serius. "Nah, itu sebenarnya tujuan aku ke sini, Nas. Beras yang kita beli patungan waktu KKN masih ada, 'kan?"

Syila terdiam, ia dapat mengendus maksud pertanyaan Kafi. "Pasti mau numpang makan, 'kan?" semprotnya.

Kafi kembali cengar-cengir, "Boleh 'kan, Nas? Please.." pintanya dengan tatapan memelas.

Syila mendengkus, "Gimana, ya? Aku yang masak sendiri soalnya–"

"Nanti sore kita ke bukit impian deh," potong Kafi.

Syila mengangkat satu alisnya, "Bukit impian?" beonya.

Kafi mengangguk, "Iya, Nas. Bukit yang katanya kamu ingin pergi itu, waktu kita tanam kacang hijau kamu ngomongin itu terus. Terus waktu kita pergi ke kota, di becak kamu juga ngomongin itu terus."

"Kamu ingat itu semua, Kaf?"

"Iya, lah. Aku emang teman yang peka, 'kan?"

Syila mengangguk lemah. Iya, Kafi memang merupakan seorang teman yang peka. Sekali lagi Syila ingin menegaskan ucapan Kafi, hanya seorang teman. Benar, Kafi memang menganggapnya hanya teman.

Sandyakala TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang