17. Ikhlas

808 43 6
                                    

Syila baru saja tiba di rumah Bu Mulya bersama Nafiza usai melaksanakan program kerjanya di sekolah yang letaknya tepat di samping rumah Bu Mulya.

"Akhirnya selesai juga proker individu kita," ujar Nafiza.

Syila mengangguk, "Alhamdulillah, ya." ia mendaratkan bokongnya di atas dipan kayu, tepat di samping Nafiza.

"Bos, aku nggak pernah lihat adik itu. Siapa, ya?" tanya Syila seraya melirik seorang anak laki-laki yang sedang bermain bulu tangkis bersama Iki.

"Kita samperin, yuk?" ajak Nafiza.

Syila mengangguk, "Yuk!" serunya bersemangat.

Kedua perempuan itu berjalan ke arah dua anak lelaki yang sedang bermain bulu tangkis.

"Kak Nafiza, Kak Syila," sapa Iki.

"Nyo Ikhlas, Kak. Sepupu lon, adek Kak Fitri yang baro diwo dari Banda." Iki memperkenalkan lelaki yang bermain bersamanya. Dia bernama Ikhlas, sepupunya sekaligus adik dari Fitri yang baru pulang dari Banda Aceh.

Syila dan Nafiza mengangguk bersamaan. "Pubut di Banda?" Nafiza bertanya untuk apa Ikhlas ke Banda Aceh.

"Berobat, Kak," jawab anak lelaki bernama Ikhlas itu.

"Sakit apa?" tanya Syila.

"Leukemia, Kak," jawab Ikhlas dengan senyum tulus di matanya.

Syila merasa terenyuh mendengar jawaban Ikhlas. Dia terlihat seumuran dengan Iki, mungkin berusia sekitar 13 tahun, tapi harus menderita penyakit seserius itu.

"Kakak boleh ikut main, nggak?" tanya Syila setelah beberapa saat terdiam.

Ikhlas sumringah, "Boleh, Kak. Ikhlas punya 2 raket lagi. Kakak main sama Ikhlas, ya?" pintanya penuh harap.

Syila mengangguk semangat, "Dengan senang hati!"

Ikhlas langsung berlari ke dalam rumahnya untuk mengambil 2 raket lagi. Tidak sampai satu menit, ia sudah keluar dengan memegang 2 raket di tangannya.

"Ini untuk Kak Syila, ini untuk Kak Nafiza." Ikhlas menyerahkan masing-masing 1 raket untuk Syila dan Nafiza. Mereka pun melanjutkan bermain bulu tangkis bersama, Ikhlas bersama Syila dan Iki bersama Nafiza.

Usai bermain bulu tangkis, kini keempat orang itu sedang duduk di atas dipan kayu dan mengobrol bersama.

"Kakak cita-citanya jadi apa?" tanya Ikhlas seraya mencomot kentang goreng yang diberikan oleh Fitri.

Syila menggaruk tengkuknya, ia tampak bingung menjawabnya. Ia bercita-cita menjadi penulis, namun jurusan yang ia ambil sangat tidak relevan.

"Jadi guru," jawab Syila akhirnya. "Kalau Ikhlas, cita-citanya jadi apa?" Ia bertanya balik.

"Ikhlas mau jadi dokter!" serunya tanpa berpikir.

Syila tersenyum, Ikhlas ini lebih banyak bicara daripada Iki. Dia juga lebih menguasai bahasa Indonesia dari sepupunya itu, terbukti sedari tadi anak itu terus berbicara menggunakan bahasa Indonesia alih-alih bahasa Aceh.

"Kakak doakan supaya cita-cita Ikhlas terwujud, nanti kalau kakak mau berobat bisa sama Ikhlas, 'kan?"

Ikhlas tersenyum lebar, "Boleh dong, Kak. Nanti Ikhlas kasih diskon khusus untuk kakak." ia mengacungkan jempolnya, masih dengan senyum yang terus terpatri di wajahnya.

"Oh iya, kakak-kakak sampai kapan di sini?"

Syila dan Nafiza saling berpandangan, sebentar lagi mereka akan selesai KKN. Ada perasaan sedih harus meninggalkan desa ini. Namun, Syila tampaknya harus sedikit berbahagia, sebab ia akan tetap tinggal di sini selama 1 bulan lagi untuk melaksanakan program magangnya.

Sandyakala TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang