10. Lin Yi

1.1K 52 11
                                    

Semburat pancaran sinar mentari menyambut Syila dan keempat temannya kala keluar dari rumah. Hari ini, mereka terpaksa berjalan kaki ke kantor desa karena Iki sudah pulang ke rumah. Dan motor yang biasa mereka gunakan sudah dipakai oleh pemiliknya.

"Kenapa kita nggak minta pinjam becak itu aja, ya? Biar lebih mudah kalau ke mana-mana," ujar Giska seraya menunjuk sebuah becak barang yang terletak di bawah menasah. Mereka sudah tiba di depan gerbang kantor desa.

"Iya, coba aja minta," timpal Amanda.

"Kalau udah diminta, siapa yang mau bawa? Kalau Septian sih aku yakin dia nggak bisa. Bawa motor aja kayak oleng gitu," sahut Syila.

Keempat temannya kompak mengangguk. Benar yang dikatakan Syila, Septian seperti baru belajar mengendarai motor. Kemarin saja, lelaki itu hampir terjatuh saat mengendarai motor ke rumah Bu Mulya.

"Kafi mungkin bisa," sahut Nafiza.

"Bisa jadi, ya. Nanti lah kita tanya."

"Wes, tumben mau jalan kaki!" seru Septian yang sedang berdiri di depan teras kantor desa.

"Kalian jahat, nggak ada yang mau jemput!" sungut Giska.

"Lho, gimana pula mau jemput? Motor kami cuma satu, mau berapa kali bolak balik untuk jemput kalian?

"Ya udah lah, udah terlanjur jalan juga!"

Septian menggelengkan kepala mendengar Giska yang bersungut. "Silakan masuk, kanjeng ratu. Hari ini kita gunting stiker nomor rumah dulu, ya."

Kelima perempuan itu membuka sepatunya, lalu berjalan masuk ke dalam kantor desa. Di dalam, terlihat Kafi yang sedang sibuk membersihkan meja dan lemari menggunakan kemoceng.

"Rajin banget," celetuk Giska seraya menempelkan pantatnya di kursi.

"Iya, lah. Emangnya kalian!" jawab Kafi seraya menggantungkan kemoceng di dinding.

"Kaf, kamu bisa bawa becak nggak?" tanya Amanda.

Kafi mengerutkan dahinya, "Untuk apa?" tanyanya.

"Untuk bawa sapi ayahnya Kak Fitri!" seru Giska kesal.

"Lho, untuk apa?" Kafi kembali bertanya.

Giska memutar bola matanya, "Ya, untuk kita pakai lah! Kami juga nggak mungkin berharap bisa pakai motor Iki dan Kak Fitri terus. Apa lagi sekarang Iki udah pulang, otomatis motor dipakai dia lah."

"Emang mau pakai becak siapa?"

"Becak yang di bawah menasah itu loh, Kaf!" sahut Amanda gemas.

"Itu bukannya becak Bang Hendra?" tanya Kafi sangsi. Bang Hendra yang dimaksud adalah anak pemilik warung di depan kantor desa.

"Ya, emang. Masa becak Bang Septian!"

"Lho, malah aku dibawa-bawa sama Bu Dokter ini," ujar Septian seraya membawa beberapa kertas panjang yang merupakan stiker nomor rumah, kemudian meletakkannya di atas meja.

"Abis, si Kafi ini kenapa jadi lemot gini, sih?"

"Biasa, efek orang lagi jatuh cinta." Septian tersenyum penuh arti, lalu menatap Kafi dan Syila secara bergantian.

Syila mendengkus, tahu sebentar lagi ia akan jadi bahan bulan-bulanan teman-temannya. "Kita hari ini gunting stiker nomor rumah aja, 'kan?" tanyanya berusaha mengalihkan topik.

"Iya, ya udah buruan!" sahut Kafi yang juga menyadari akan menjadi bahan bulan-bulanan kelima temannya, kemudian ia mengambil satu lembar stiker nomor rumah dan membawanya ke lantai.

Sandyakala TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang