"Guys, aku mandi duluan, ya!" Giska langsung berlari ke kamar mandi tanpa mendengar persetujuan dari teman-temannya.
Pagi ini, waktu masih menunjukkan pukul delapan, tetapi kelima perempuan itu sudah berebut untuk mandi terlebih dahulu. Mereka terlalu bersemangat karena Bu Mulya mengajak untuk pergi ke pesta pernikahan salah satu warga desa Hutan Mekarsari.
Setelah 20 hari melaksanakan KKN, akhirnya mereka bisa juga merasakan makan gratis di pesta pernikahan.
"Setelah Giska aku!" ujar Syila ketika teman-temannya masih terdiam.
"Aku setelah Syila!" Ana mengangkat satu tangannya, seakan-akan mempertegas bahwa setelah Syila adalah gilirannya.
"Aku yang terakhir aja," sahut Nafiza pasrah hingga membuat ketiga temannya tertawa.
Giska telah selesai mandi, lalu berganti dengan Syila dan begitu seterusnya sampai Nafiza yang terakhir. Kini, mereka sedang duduk di kamar, ada yang sedang memakai jilbab, memakai bedak, dan sebagainya.
Dan Giska adalah orang yang terakhir selesai, karena kini ia masih menggambar alisnya seraya bercermin di depan cermin lipatnya.
"Masih lama, Gis?"
Giska mendongak, menatap Amanda yang sudah selesai memakai jilbabnya. "Bentar lagi, Man."
"Kak Fitri udah nungguin kita di depan," ujar Amanda lagi.
"Iya, iya, sabar sebentar, yaaaa!"
Amanda menghela napas, lalu kembali berjalan keluar rumah.
"Guys, katanya Pak Budi hari ini mau ke sini!" seru Syila heboh seraya membuka tirai kamar. Pak Budi adalah DPL KKN beberapa kelompok yang berada di kecamatan yang sama dengan mereka.
"Yang bener?"
Syila mengangguk, "Iya, Gis. Barusan dikabari di grup."
Ana yang sedang mengenakan kaos kakinya, tiba-tiba tertunduk lemas, "Jangan bilang kita nggak jadi ke pesta," ucapnya lirih.
"Tenang, Ana. Nggak mungkin pagi-pagi Pak Budi udah sampai Bireuen. Pasti baru berangkat dari Banda Aceh," sahut Nafiza tenang.
"Bener juga." Syila mengangguk, setuju dengan ucapan Nafiza.
"Ayo, guys. Kak Fitri udah mau pergi itu." Amanda kembali ke kamar, mengajak teman-temannya agar segera berangkat.
Keempat perempuan itu bergegas keluar rumah dan mengunci pintu. Di depan rumah, Fitri sudah menunggu mereka untuk pergi bersama.
"Maaf, Kak. Agak telat dikit," ujar Giska cengar-cengir.
"Nggak apa-apa, pasti kalian antre mandi lagi, 'kan?" Perempuan yang mengenakan jilbab hitam itu tersenyum.
"Ya udah, ayo kita jalan."
Keenam perempuan itu pun berjalan kaki menuju lokasi pesta pernikahan. Hamparan sawah yang luas berwarna hijau di sepanjang jalan membuat perjalanan mereka terasa menyenangkan.
"Jauh juga, ya, Kak." ujar Syila begitu mereka sampai di lokasi pesta pernikahan.
Fitri tertawa, "Emang jauh, harusnya kita pergi naik motor, ya. Tapi nggak mungkin bonceng enam, 'kan?"
"Bukan lagi cabe-cabean kalau bonceng enam, ya, Kak?"
"Chili-chili-an, ya, Syil?"
"Itu mah sama aja, An!"
Selanjutnya mereka berenam bertemu dengan Bu Mulya, lalu diarahkan untuk membantu beliau mengambil piring dan sebagainya.
Tepat pukul 12, Bu Mulya menyuruh kelima perempuan itu untuk makan terlebih dahulu. "Jak, pajoh bu ile[1]," ajaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala Terindah
RomanceDipertemukan karena Kuliah Kerja Nyata (KKN), diam-diam Nasyila Eiliya mulai mengagumi sosok Alkahfi Pratama, lelaki yang merupakan teman sekelompoknya. Awalnya Syila - begitu orang-orang memanggilnya - berpikir hanya sekadar kagum pada lelaki yang...