34. Kepergian Ikhlas

621 28 6
                                    

Hari-hari berlalu begitu cepat. Syila semakin disibukkan dengan tugas akhirnya. Seperti hari ini contohnya, ia baru saja mengambil surat izin penelitian di kampus. Perempuan yang mengenakan kemeja berwarna merah jambu itu berjalan ke area parkir untuk mengambil motor.

Syila mengusap keringat yang mengalir di dahinya. Matahari tampak bersinar terik tepat di atas kepalanya. Jangan ditanya seberapa panas kota Banda Aceh saat ini. Ingin rasanya Syila berdiam diri di dalam kulkas saja.

Menghela napas, Syila duduk di atas motor Beat hitamnya. Ia mengambil ponsel, hendak mengirim pesan untuk Nafiza. Hari ini mereka berjanji untuk makan siang bersama di rumah makan Jepang dekat kampus.

Ting!

Belum sempat Syila mengetik pesan untuk Nafiza, sebuah notifikasi pesan dari Fitri tiba-tiba membuat lututnya terasa lemas. Dengan tangan bergetar, Syila membuka isi pesan yang dikirim Fitri.

Fitri :
Dek, Ikhlas udah pergi ninggalin kita.

Satu kalimat yang dikirim Fitri mampu membuat Syila seperti dihujam belati berkali-kali. Ia berusaha untuk tetap kuat dan tidak menangis. Segera Syila membalas pesan Fitri.

Nasyila :
Innalillahi wa inna ilaihi raajiun.
Kapan, Kak?

Fitri :
Tadi sekitar jam 11, Dek.
Ini kami lagi perjalanan pulang ke Bireuen.

Nasyila :
Ya Allah, masih belum percaya🥹🥹
Semoga amal ibadah Ikhlas diterima di sisi Allah. Kakak yang kuat, ya🫶

Fitri :
Aamiin, doain Ikhlas, yaa 🥹🫶

Nasyila :
Pastinya, Kak.
Syila sayang banget sama Ikhlas. Syila pengen nyusul ke Bireuen juga.

Fitri :
Boleh, Dek. Kalau nggak memberatkan, datang aja, ya. Kita antar Ikhlas ke peristirahatan terakhirnya.

Nasyila :
Insya Allah, Kak. Syila coba tanya teman-teman dulu yaa.

__________

Usai percakapan dengan Fitri berakhir, Syila mengirim pesan untuk Nafiza. Ia bertanya apakah sahabatnya itu ingin menyusul ke Bireuen atau tidak. Namun, Nafiza tidak membalas pesannya. Syila berniat mendatanginya langsung ke fakultasnya.

Saat hendak memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya. Benda pipih itu berdering, menampilkan nama Kafi sebagai pemanggil. Syila langsung menggeser ikon hijau itu dengan tangan yang masih bergetar.

"Assalamualaikum, Nas."

"Wa-Waalaikumsalam, Ka-Kaf," jawab Syila terbata-bata.

"Nas, a-aku. Aku barusan dapat kabar dari Teungku Abdullah. Ikhlas ud-udah ninggalin kita, Nas," ujar Kafi dengan suara tak kalah bergetar di seberang sana.

Syila memejamkan mata, berusaha menghalau agar air matanya tak terjatuh. "Iya, Kaf. Aku juga barusan dikabari sama Kak Fitri. Ini aku mau ke FEB, mau ketemu Nafiza."

"Untuk apa, Nas?"

"Aku mau ngajak Nafiza nyusul ke Bireuen, Kaf. Kata Kak Fitri mereka lagi dalam perjalanan. Kemungkinan masih sempat kalau mau nyusul."

"Bareng aku aja, Nas. Aku sama Haikal juga berniat mau nyusul. Haikal lagi ambil mobil di rumah salah satu teman kami."

"Serius, Kaf?"

"Iya, Nas. Kamu langsung ke FEB aja ketemu Nafiza. Ntar aku sama Haikal jemput di rumahmu, gimana?"

"Boleh, Kaf. Kalau gitu aku tutup dulu. Assalamualaikum."

Sandyakala TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang