19. Sandyakala

819 46 2
                                    

Hamparan laut yang luas, deburan ombak serta langit yang berwarna oranye menjadi perpaduan yang indah di sore ini. Seorang perempuan yang mengenakan jas almamater hijau serta topi KKN berwarna hitam itu, duduk di atas gundukan pasir sendirian. Keenam temannya sedang melaksanakan salat magrib, sementara ia sedang kedatangan tamu bulanannya.

Berulang kali Syila berdecak kagum melihat pemandangan itu. Rasanya sudah lama sekali ia tidak menikmati senja di pantai seperti ini. Ia kembali mengarahkan ponselnya untuk memotret pemandangan menakjubkan di hadapannya.

"Cantiknya," gumam Syila begitu melihat hasil foto yang dipotretnya.

"Eh?" Syila mendongak begitu menyadari ada yang mengambil topinya.

"Kirain siapa," dengkus Syila saat melihat Kafi berdiri di belakangnya.

Kafi tertawa kecil, lalu ikut duduk di sebelah Syila dengan memberikan sedikit jarak dan meletakkan tas Syila di sampingnya. Ia memasangkan kembali topi ke kepala perempuan itu. "Ngapain sendiri di sini, nggak takut kesurupan?" tanyanya asal.

Syila tertawa, "Ya kali." ia kembali mengamati beberapa foto senja yang dipotretnya tadi.

"Nggak percaya?"

Syila mengedikkan bahunya, lalu menggeleng pelan. Ia kembali fokus pada ponselnya hingga kembuat Kafi melongok sedikit ke arahnya.

"Kamu kenapa di sini, sih?" Syila menjauhkan ponselnya, lalu menatap Kafi curiga. "Nggak salat, ya?"

"Udah selesai."

"Tumben cepat selesainya," sahut Syila spontan.

Kafi mengerutkan dahinya, "Tumben? Emang pernah lihat aku salat?"

Syila yang baru menyadari ucapannya, buru-buru meralat, "Bu-bukan gitu. Maksudnya kok cepat selesai?"

Kafi memicingkan matanya, "Jujur, kapan kamu lihat aku salat?"

"Nggak pernah! Paling cuma nunggu aja kalau kita mau proker dan kamu masih salat, tapi aku nggak hitung berapa lamanya, kok."

Lagi-lagi jawaban Syila membuat Kafi tertawa. "Aku bercanda, kok. Tempat salat di sini kecil dan banyak yang antre di belakang aku."

Syila hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Kafi. "Kaf, lihat deh. Cantik, 'kan?" Ia menyodorkan ponselnya pada lelaki itu.

Kafi mengamati foto yang dipotret Syila di layar ponselnya, perempuan itu ternyata cukup lihai dalam hal memotret. "Cantik."

Syila tersenyum, "Emang aku berbakat jadi fotografer."

Kafi ikut tersenyum, kemudian ia mengembalikan ponsel kepada Syila. Lelaki itu terdiam menikmati suara deburan ombak di depannya.

"Nas," panggil Kafi setelah beberapa saat ia dan Syila terdiam.

"Hmm," jawab Syila dengan gumaman kecil.

"Kamu pernah dengar istilah 'sandyakala', nggak?"

Syila mematikan ponselnya, menatap Kafi yang duduk di sebelah kirinya. "Nggak pernah, emang apa itu?"

"Kamu tahu bahasa Sanskerta?" Kafi kembali bertanya.

Syila mengangguk ragu. "Nggak banyak tahu. Cuma tahu bhinneka tunggal ika."

Seketika tawa Kafi menyembur begitu mendengar jawaban polos Syila. "Itu juga semua tahu, Nanas!"

Syila cengar-cengir, "Emang kenapa dengan bahasa Sanskerta?"

Kafi menghentikan tawanya. "Sandyakala itu berasal dari bahasa Sanskerta, artinya cahaya merah saat senja, seperti foto yang kamu ambil tadi."

Syila kembali membuka ponselnya, lalu mengamati beberapa foto yang ia potret tadi. Cahaya merah di langit sore tadi tampak begitu indah. Ternyata itu yang dinamakan sandyakala.

Sandyakala TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang