Pagi itu tampak sedikit cerah, matahari tanpa malu-malu menampakkan wujudnya padahal waktu masih menunjukkan pukul sembilan. Enam remaja yang sudah lengkap dengan jas almamaternya sedang berkumpul di ruang utama kantor desa.
"Syila, tolong panggil Kafi di luar." Suara bariton milik Septian berhasil menyadarkan Syila dari lamunannya tentang kejadian nahas semalam.
"Apa?" tanya Syila.
"Tolong panggil Kafi di luar," ulang Septian.
"Karena kamu paling dekat dengan pintu, jadi tolong panggil dia sebentar." Septian kembali melanjutkan ucapannya sebelum Syila menyela.
Menurut, Syila bangun dari posisi duduknya. Kemudian ia keluar untuk memanggil Kafi. Perempuan itu celingak-celinguk saat tidak menemukan keberadaan Kafi, padahal ia sudah berdiri di teras.
Dengan langkah terpaksa, Syila menuruni anak tangga, lalu ia mendapati Kafi sedang mengutip sampah di samping kantor desa. lalu membuangnya ke tumpukan sampah.
"Alkahfi," panggil Syila pelan, ia belum terbiasa memanggil nama lelaki itu dengan panggilan 'Kafi'.
"Alkahfi." Syila mengulang panggilannya saat lelaki itu tak juga menjawabnya.
"Al–"
"Kafi." potong Kafi, lelaki itu sudah berdiri tepat di depan Syila.
"Hah?"
"Panggil saya Kafi."
"Hah?"
"Kamu ini nggak ada kosakata lain, selain hah?"
"Nama kamu 'kan Alkahfi, jadi ya aku panggil sesuai nama."
"Bukannya saya udah pernah bilang kalau nama panggilan saya 'Kafi'?"
Syila terdiam, benar yang dikatakan lelaki itu. "Iyaaa," jawabnya pasrah.
"Iya apa?"
"Iya, Kafi."
"Nah, gitu."
Syila mendengkus, "Kamu dipanggil Septian," ujarnya kembali fokus pada tujuan utama memanggil lelaki itu.
Kafi mengangguk, ia mengangkat tangannya, mengisyaratkan bahwa tangannya masih kotor.
"Ya, cuci dulu!"
Kafi tertawa, "Iya, saya mau cuci tangan dulu. Kamu duluan aja, nggak usah nunggu saya," katanya sambil tersenyum jahil. Setelah mengatakan itu, Kafi beranjak menuju sumur yang terletak di belakang kantor desa.
"Cowok aneh, siapa juga yang mau nungguin dia!" gerutu Syila ketika Kafi sudah berjalan jauh meninggalkannya.
"Mana Kafi?" tanya Septian saat melihat Syila masuk ke kantor seorang diri.
"Lagi cuci tangan," jawab Syila ketus. Kemudian ia mendaratkan bokongnya di kursi samping Ana.
"Nasyila," panggil Septian.
"Apa?"
Menghela napas, Septian meletakkan pulpen yang sedari tadi dipegangnya ke atas meja. Lalu ia menatap Syila serius. "Kamu bisa nggak jangan ketus gitu? Kita di sini semuanya keluarga, jangan anggap seperti orang asing."
Ucapan Septian kontan membuat keempat temannya tertawa.
"Sep, kamu itu belum terlalu kenal Syila. Dia nggak seketus itu kok aslinya," sahut Giska yang masih tertawa.
"Ya, mana aku tahu dia aslinya gimana. Orang dia kayak membatasi diri dengan kita."
"Syila itu belum terbiasa aja. Nanti juga keluar aslinya gimana. Sekarang kita mau bahas apa?" ujar Amanda, bertujuan agar mereka kembali fokus pada tujuan utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala Terindah
عاطفيةDipertemukan karena Kuliah Kerja Nyata (KKN), diam-diam Nasyila Eiliya mulai mengagumi sosok Alkahfi Pratama, lelaki yang merupakan teman sekelompoknya. Awalnya Syila - begitu orang-orang memanggilnya - berpikir hanya sekadar kagum pada lelaki yang...