"Ya Allah, jika Kafi adalah yang terbaik untukku, maka dekatkan dan jodohkanlah kami. Jika Kafi tidak baik untukku, maka jadikanlah dia baik dan tetap jadikanlah dia jodohku, ya Allah. Aamiin." Syila berdoa dengan sungguh-sungguh usai melaksanakan salat asar di kamarnya.
Sementara itu, Nira yang sedang berdiri di depan pintu kamar Syila hanya mampu tersenyum geli mendengar doa anaknya. Ia pun berjalan masuk ke dalam kamar Syila.
"Mana ada doa maksa begitu," cibir Nira.
Syila mendongak, menatap Nira yang sudah duduk di atas kasur. "Itu doa yang tulus, Ma," ucapnya seraya melipat mukena dan meletakkan di atas kursi.
"Bukan tulus, Syila. Itu namanya maksa." Nira masih tak mau kalah.
Syila menghela napas, kemudian ikut duduk di samping Nira. "Ma, itulah doa dari seseorang yang mencintai dengan tulus," dalihnya.
Nira tertawa kecil seraya mengacak-acak rambut Syila.
Syila mengerucutkan bibirnya, "Mama, ih. Jangan diberantakin."
"Syila," panggil Nira dengan nada serius, ia menegakkan tubuhnya, menandakan ada hal yang serius yang ingin disampaikan untuk anak sulungnya itu.
"Iya, Ma?"
"Ada yang mau mama omongin."
Syila menahan napas, ia jadi menegang menunggu kalimat selanjutnya yang akan disampaikan oleh ibunya.
Nira menatap Syila serius, "Sebentar lagi kamu udah mau sidang skripsi, terus udah lulus kuliah. Kalau ada yang niat serius sama kamu, apa kamu mau menikah?"
Syila terdiam sejenak, berusaha mencerna maksud Nira. Kemudian ia pun menggeleng sebagai jawaban.
"Syila nggak mau nikah dulu, Ma."
"Kenapa?"
"Emang ada yang niat serius sama aku, Ma?" Bukannya menjawab pertanyaan Nira, Syila malah balik bertanya.
"Ada, Syila. Dia anak orang kaya, punya pekerjaan tetap, udah mapan juga. Masa kamu nggak mau?"
"Enggak!" tolak Syila. Mau sekaya dan semapan apa pun, Syila tetap tidak mau. Syila hanya mau Kafi.
Nira menatap Syila tak suka, "Kenapa? Kamu mau nunggu Kafi? Mau sampai kapan, Syila? Kamu udah nunggu dia selama 2 tahun. Tapi apa? Ada perkembangan? Dia tahu kamu suka sama dia aja nggak, 'kan?"
"Belum 2 tahun, Ma," ralat Syila.
"Tahun ini masuk 2 tahun, 'kan?"
Syila terdiam. Memang benar, tahun ini sudah hampir 2 tahun ia mencintai Kafi dalam diam. Dan sama sekali belum ada perkembangan. Ia dan Kafi masih berteman, bahkan Kafi semakin jarang menghubunginya. Mereka hanya bertukar pesan sesekali dan itu juga lebih banyak Syila yang memulainya. Bertemu pun mereka sudah tak pernah lagi. Terakhir kali bertemu 5 bulan yang lalu ketika sidang skripsi Kafi.
"Kenapa diam? Yang mama bilang betul semua, 'kan?"
"Ma, Syila cuma cinta sama Kafi. Biarkan Syila berjuang dulu. Syila yakin kalau Kafi itu jodoh Syila." Syila berusaha memberi pengertian kepada ibunya.
Nira menghela napas panjang, Syila memang keras kepala dan susah diberitahu. Padahal dulu Nira sudah melarang Syila untuk mencintai Kafi. Karena, Nira memang berharap Syila berjodoh dengan orang Aceh saja.
"Syila," panggil Nira selembut mungkin. "Dari awal mama udah bilang, lebih baik kamu lupakan Kafi. Mama udah larang kamu untuk jatuh cinta sama dia, 'kan? Kamu tahu sendiri dia orang jauh, orang Minang. Sedangkan mama lebih suka kamu sama orang Aceh aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala Terindah
RomanceDipertemukan karena Kuliah Kerja Nyata (KKN), diam-diam Nasyila Eiliya mulai mengagumi sosok Alkahfi Pratama, lelaki yang merupakan teman sekelompoknya. Awalnya Syila - begitu orang-orang memanggilnya - berpikir hanya sekadar kagum pada lelaki yang...