43. Akhir

1.9K 54 25
                                    

Kata orang, berjalan santai di pagi hari hampir sama manfaatnya seperti meditasi. Angin pagi yang segar dapat melepaskan energi positif dan membuat suasana hati menjadi baik sepanjang hari. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku bagi Kafi. Ia sudah berjalan santai hampir 30 menit, namun suasana hatinya masih saja kusut.

Gerobak bubur ayam di pinggir jalan membuat perut Kafi sedikit tergelitik. Apa sebaiknya ia sarapan dulu? Mungkin setelah sarapan, suasana hatinya bisa sedikit lebih baik.

Tanpa pikir panjang, kini Kafi sudah duduk di sebuah kursi dan memesan 2 porsi bubur ayam. Maklum, ia benar-benar kelaparan karena belum makan apa pun dari semalam.

Kafi bernapas lega setelah menghabiskan 1 mangkuk bubur ayam. Tangannya yang hendak bergerak mengambil mangkuk ke dua, mendadak terhenti ketika mendengar suara seorang perempuan memanggilnya.

"Loh, Kafi? Kamu di sini? Kapan sampai?" tanya perempuan itu. Lalu ia langsung duduk di samping Kafi.

Kafi tersenyum kikuk, niatnya ingin menghabiskan 1 mangkuk bubur ayam lagi menjadi gagal.

"Kamu makan 2 porsi ini? Kenapa? Nggak makan dari semalam? Masih galau, ya?"

Belum sempat menjawab pertanyaan pertama, perempuan itu kembali mengajukan pertanyaan lain. Kafi hanya bisa menghela napas. Mengapa ia harus bertemu Tuti, adik ibunya yang super cerewet itu di sini?

"Oh iya, kamu kapan berangkat ke Jogja?" Perempuan bernama Tuti itu kembali bertanya.

Kafi tersenyum masam, "Aku bingung harus jawab pertanyaan yang mana dulu, Tante," ujarnya sopan.

Perempuan yang mengenakan pakaian olahraga itu tertawa lebar, "Iya, ya. Tante kebanyakan nanya. Kamu jawab yang pertama aja dulu, kapan kamu sampai di Bogor? Kok nggak ngabarin Tante, sih?"

Kafi menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Baru aja kemarin, Tan. Aku nggak enak lah kalau ngabarin, takut ngerepotin."

"Nggak ngerepotin. Ini tante kamu, loh. Kamu kayak sama siapa aja."

Kafi menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Nggak apa-apa, Tan. Lagian aku cuma bentar aja di sini. Lusa udah berangkat ke Jogja."

Tuti manggut-manggut, ia tatap keponakannya yang biasanya tampak rapi, namun hari ini malah tampak sangat kusut dan tidak terurus. Tuti yakin bahwa Kafi masih sedih. "Kamu pasti masih sedih, ya?" tanyanya prihatin.

Kafi tak menjawab, ia hanya tersenyum tipis. Tak mungkin ia menceritakan masalahnya pada tantenya itu.

Tuti menyentuh pundak Kafi, "Terkadang, melepaskan sesuatu yang nyaris kita genggam justru akan membuat hati lebih tenang, Kaf. Tante tahu kamu masih mencintainya, tapi kamu harus melepaskan dia. Melepaskan sesuatu itu dapat memudahkan kita dalam melangkah," ujarnya memberi nasihat.

Kafi terkesiap, tak menduga bahwa tantenya bisa mengetahui isi hatinya.

Tuti menghela napas panjang, "Sebenarnya, dari awal Tante kurang suka lihat si Icha itu. Kelihatan pencitraan di depan banyak orang. Tapi nggak apa-apa, Kaf. Bagus lah kamu nggak jadi sama dia. Berarti Allah sayang sama kamu karena menunjukkan sifat asli dia sebelum jadi istri kamu."

Kafi menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia kira tantenya membahas tentang Syila. Ternyata malah membahas tentang Icha, mantan calon istrinya.

Ya, Kafi memang berencana akan menikah dengan perempuan pilihan ibunya 2 bulan yang lalu. Namun, 1 bulan sebelum acara pertunangan, Icha malah ketahuan berselingkuh hingga membuat Kafi marah besar. Sebenarnya, Kafi sama sekali tak sakit hati saat mengetahui semuanya. Karena ia sama sekali tak mencintai perempuan itu. Namun, egonya sebagai lelaki sedikit terluka karena perselingkuhan yang dilakukan Icha.

Sandyakala TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang