22

857 152 13
                                    



January, 2020. London. Rumah Duka.


Tangis mengudara, meraung membelah langit mendung. Foto seorang pria tersenyum terpampang jelas ditengah ruangan. Pakaian hitam, bunga, dan doa sebagai pengiring kepergian dan penghormatan tempat dia beristirahat untuk terakhir kalinya.

Joshua melihat ke sekeliling ruangan, menyaksikan teman-teman dan keluarga berdiri bergerombol, saling berbisik dan berpelukan. Ia merasa tidak berdaya, seakan-akan tidak ada yang bisa ia lakukan untuk meringankan rasa sakit atas kepergian Kenji. Seolah-olah dunia telah berhenti, dan kehidupan semua orang terhenti. Pikirannya melayang pada kenangan masa kecil mereka ketika mereka menghabiskan waktu berjam-jam berlarian dan tertawa bersama. Rasa sakit karena kehilangan Kenji sangat luar biasa dan seakan tidak ada habisnya. Bunga-bunga indah yang menghiasi ruangan itu, alunan musik lembut yang berasal dari peti mati, dan kenangan yang dibagikan di ruangan itu tidak dapat menutupi perasaan hampa yang merasuk ke seluruh ruangan.

Saat itu, matanya bertemu dengan Lisa.

Lisa hanya bisa terdiam, memandang kosong foto Kenji yang tersenyum diatas peti mati. Memandang dari jauh. Tanpa air mata dan isak tangis, gadis itu hanya diam layaknya patung yang mengawasi seluruh ruangan.

Setelah sepuluh menit terdiam, Lisa memutuskan keluar dari ruangan. Joshua mengekori dengan tatapannya sebelim akhirnya memutuskan untuk menyusul gadis itu. Joshua kembali mencari, menemukan gadis itu bersandar pada tembok dengan mata tertutup.

Joshua berjalan ke arah Lisa dan meletakkan tangannya di pundaknya. Lisa tersentak saat disentuh, perlahan-lahan menoleh untuk menatapnya. Matanya dingin dan jauh, dan Joshua tahu bahwa rasa sakit karena kehilangan Kenji pasti tak tertahankan baginya.. Mereka berdiri bahu-membahu, menyaksikan para pelayat terus berdatangan dan memberikan penghormatan terakhir kepada Kenji. Joshua tahu bahwa Lisa - sama seperti dirinya - akan memberikan apa pun untuk membawa teman mereka kembali.

Lisa mengalihkan pandangannya ke arah Joshua dan menghela napas. "Rasanya tidak nyata, bukan?" bisiknya, suaranya bergetar. "Aku terus berharap dia melompat keluar dari peti mati dan mengatakan bahwa semua itu hanya lelucon. Aku telah menunggunya selama 2 jam, dia tetap tidak ingin bangun"

"Aku tahu," jawab Joshua lirih. "Rasanya tidak nyata."

Mereka berdiri di sana dalam keheningan, dikelilingi oleh suasana ruangan yang sendu. Foto wajah Kenji yang tersenyum seakan mengejek mereka, mengingatkan mereka akan kegembiraan dan kebahagiaan yang telah ia bawa ke dalam hidup mereka.

"Mungkin kita harus bertengkar terlebih dahulu untuk membangunkannya..." ujar Joshua merasakan ada gumpalan di tenggorokannya karena membayangkan tidak akan pernah melihat Kenji lagi "... dia membenci pertengkaran kita"

Lisa tersenyum sedih mendengar komentar Joshua, "Ya, dia selalu membenci saat kita bertengkar, tapi aku yakin diam-diam dia menikmati saat menjadi wasit." Lisa menarik napas dalam-dalam dan berbalik menghadap Joshua, "Apakah kau ingat saat dia mengancam untuk mengadukan kebolosanmu pada komite sekolah karena kau tidak ingin mengalah padaku?"

"Tidak adil bagaimana dia selalu berada dipihakmu" Joshua tersenyum mengingat kenangan itu, "Classic Kenji. Selalu menjadi penjaga perdamaian. Kita benar-benar bodoh saat itu."

"Yah, setidaknya saat itu kita sama-sama bodoh," jawab Lisa, ada sedikit kepahitan dalam suaranya. "I don't know what I'll do without him. He was always the steady one, the one who kept us grounded." (Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpanya. Dia selalu menjadi orang  membuat kami tetap berpijak)

Escaping the Limelight ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang