06. Perban Putih & Tangisan Kecil

17.1K 1K 37
                                    

Terlalu banyak hal yang berputar di kepala Alby sekarang. Terlalu banyak ketakutan yang menghantui Alby saat ini. Rintihan pilu Zia berpadu dengan gelak tawa Naza. Semuanya terus berputar dalam penglihatan bagaikan video rusak yang terus berulang.

“Pak Alby, Naza pendarahan.”

“Mas, Zia jatuh di kamar mandi.”

Tiba-tiba, pendengaran Alby mendengung. Telinganya sakit hingga dia tak sanggup mendengar apa pun lagi. Pria itu menutup matanya, mengabaikan setiap riuh dalam kepalanya. Dia juga tak peduli jalanan panjang yang membelah langit malam di depannya.

Setelah mendapat kabar dari Bu Ratna, Alby tak bisa berpikir jernih lagi. Dia melesat dengan kecepatan penuh tanpa memedulikan apa pun. Demi Tuhan, ketakutan akan kehilangan Zia kembali menghantui Alby. Dia tak mau kejadian dua tahun yang lalu terulang kembali. Dia takut jika harus ditinggalkan lagi.

“Za ... maaf ... harusnya mas pulang lebih cepat.”

Wajah Naza benar-benar memenuhi isi kepala Alby. Namun, saat Alby membuka matanya, dia tak bisa melihat apa-apa. Lampu sorot dari truk di depannya  seakan menusuk penglihatan Alby. Dia langsung membanting stir sekuat tenaga, hingga mobil berwarna hitam itu berputar di tengah jalan, sampai akhirnya menabrak pembatas jalanan.

Dalam kemudi, Alby ikut terpental. Sabuk pengaman yang tak sempat dia kenakan membuatnya terbentur keras tepat pada dashboard mobil. Pandangannya kembali samar dengan rasa sakit dan pening menjadi satu. Rasa sakit itu menjalar dari kepala hingga ke ujung tulang-tulang kakinya.

Saking sakitnya, tubuh Alby melemah. Dia bahkan tak sanggup untuk sekedar menghirup udaranya. 

Perlahan, Alby merasakan cairan mengalir dari kepalanya. Semakin deras cairan itu mengalir, semakin hilang pula kesadaran Alby. Hanya gelap yang Alby ingat sebelum dia benar-benar tak sadarkan diri.

° ° °

Naza tak bisa membendung tangisannya setelah mendapat kabar dari Harsa. Ibu hamil besar itu berlari di koridor rumah sakit dengan prasangka buruk yang berkecamuk di kepalanya.

Harsa mengekori Naza dari belakang sambil meringis ngeri. Dia takut Naza terjatuh dengan perut besarnya. Tak jarang, dia ikut memperhatikan setiap langkah yang Naza ambil. “Hati-hati, Za!”

Naza tak memedulikan apa pun. Dia terus berlari. Derap kaki mereka pun menggema, menjadi suara yang mendominasi tengah malam itu. Rumah sakit memang tak pernah tidur. Masih banyak tangis, harapan, perpisahan dan pertemuan yang terjadi di sana.

Naza langsung terpaku saat melihat Alby terbaring di brankar rumah sakit dengan perban putih yang melilit kepalanya. Perlahan, air matanya kembali terjatuh.

“Mas ...,” panggilnya begitu parau.

Dengan perut besarnya, Naza duduk di samping Alby. Dia genggam tangan Alby yang terasa begitu dingin. “Mas, kamu baik-baik aja, ‘kan?” lirihnya.

“Pelipisnya sobek cukup dalam, lengannya terkilir dan dislokasi pada tulang lututnya, tulangnya sedikit bergeser karena terjepit badan mobil. Untungnya, tidak ada luka dalam. Sekarang, keadaanya sudah jauh lebih stabil. Dia tertidur karena obat pereda rasa sakit.”

Naza makin tersedu, mendengar penjelasan sang dokter. Dia lantas menoleh, menatap dokter ber-snelli putih di sampingnya. “Dok, Mas Alby cuma tidur, ‘kan?”

Leon gak mau jadi Abang!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang