Secepat kilat Naza menghadang Alby. Dia merentangkan kedua tangan, menghentikan langkah suaminya yang sudah siap memarahi Leon sambil membawa sebuah penggaris panjang.
Alby sudah tak bisa menahan kesabarannya lagi setelah melihat kekacauan di kamar. Hampir seluruh benda di kamar itu Leon bor dengan berbagai macam karakter. Lemari sepatu Alby dengan gambar rusa bertanduk, lemari pakaian dengan gambar anjing, gorden dengan gambar bunga, dan pinggiran ranjang dengan gambar awan. Alby benar-benar bingung, harus dengan cara apa mendidik Leon supaya tidak berbuat onar terus. Dia tak yakin, pola asuh yang salah atau memang Leon sangat sulit dikendalikan.
Alby pikir, hari ini Leon benar-benar melewati batas. Dia harus mendidik Leon dengan cara yang keras.
“Bentar, Mas.” Naza sigap menahan lengan Alby.
“Gak, ini udah kelewatan!”
Naza mengangguk. Dia usap pundak Alby yang hampir kehabisan napas karena amarahnya “Okay, ini kelewatan ... tapi sebelum Mas marahin Leon, sebelum Mas pukulin Leon, aku mau tanya dulu.”
Alby diam di tempatnya sambil menatap Leon yang tengah menangis dengan bor mini yang masih menyala di tangannya.
“Mas punya uang gak?” tanya Naza.
Kening Alby langsung mengerut. “Buat apa?” tanyanya
“Punya uang gak?”
“Ada. Buat apa?”
“Beli lemari, bisa?”
“Bisa.”
“Beli gorden sama tempat tidur, bisa?”
“Bis—” Alby menghentikan ucapannya. Dia menatap Naza dengan bingung, belum mengerti maksud istrinya itu. “Kamu mau ngomong apasih?”
“Beli anak bisa gak?”
Alby langsung kehilangan kata-kata. Dia kembali menatap Leon yang masih tersedu-sedu. Putranya itu ketakutan setelah Alby bentak. Dan, saat Leon melihat Alby membawa penggaris panjang, tangisan Leon makin menjadi.
“Mas liat deh, gambar yang Leon buat, bagus-bagus. Aku aja belum tentu bisa. Apalagi pake bor kayak gitu.”
Alby menatap kembali setiap gambar yang Leon buat bersama bor kecilnya. Sambil menghela napasnya, Alby kembali menatap bor kecil di tangan Leon. “Tapi, bahaya banget loh, Za.”
“Nah, itu ... tugas kita itu. Untuk ngasih tau betapa bahayanya Leon pake bor listrik sendirian. Bukan dimarahi atau malah dipukuli karena lemari bolong-bolong. Mas bilang, lemari bisa kita beli lagi, gorden masih banyak di lemari, tapi Leon cuman satu, Mas.”
Entah kenapa, hati Naza langsung melemah. Suaranya langsung bergetar. Dadanya terasa sesak. Dia ingat saat pertama kali bertemu dengan Leon, bayi merah yang bahkan kehilangan ibunya di hari pertama dia lahir ke dunia. Bayi cengeng yang tak pernah bisa melihat wajah ibu kandungnya sendiri. Naza ingat bagaimana dulu Zia menitipkan Leon. Naza sudah mengorbankan kehidupannya demi menghidupkan cita-cita kakaknya untuk Leon. Rasanya, tak adil jika kini Alby tega menyakiti Leon hanya karena kelakuan nakalnya.
Naza menggenggam tangan Alby. Wajahnya tertunduk, menyembunyikan tangisannya. “Mas, Leon putraku ... putra yang kita punya dari Kak Zia. Sebelum mas pukul Leon, pukul aku dulu ...”
Alby mengeratkan genggaman pada penggaris panjang di tangannya. Dia tatap wajah Naza di di depannya, kemudian matanya mulai terasa perih melihat Leon yang tengah menangis di sana. Alby lupa, Leon adalah putra yang dia perjuangkan bersama Zia dan Naza.
Sudah terlalu banyak tangisan yang mereka lewati bertiga. Sudah terlalu banyak rasa sakit yang mereka rasakan. Masalah kecil seperti ini seharusnya bisa Alby hadapi dengan segala bentuk cinta dan kasih sayang yang masih mereka perjuangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Leon gak mau jadi Abang!
RomanceSEQUEL TURUN RANJANG Hanya keseruan Alby dan keluarga kecilnya ditambah dengan kegemoyan Leon yang gak mau jadi Abang. ps. Ada ilustrasi komik di setiap babnya.