26. Kriminil Cilik & Keinginan Ayah

11.7K 1.1K 47
                                    

“Abang sakit gak?” Noel menatap abangnya yang duduk di tepian kasur. Bocah kecil itu penasaran dengan perban tebal di lutut abangnya. Saking penasaran, tangan mungil Noel bergerak untuk menyentuhnya.

“Jangan dipegang!”

Belum sempat tangan mungil Noel sampai di lutut abangnya, bocah kecil itu terperanjat kaget karena suara abangnya yang tiba-tiba memekik seisi kamar. Noel kecil terkejut. Mata sipitnya hingga membola.

“Kalau dipegang, sakit,” ucap Leon.

Bagi Noel, larangan adalah perintah. Dia tersenyum, lalu memukul lutut abangnya sekuat tenaga.

“Bunda!” Leon berteriak kesakitan. Dia marah sambil mendorong Noel hingga terjatuh ke belakang.

“Bunda!” Noel ikut berteriak sambil membalas abangnya.  

Kini, kamar itu dipenuhi oleh teriakan Leon dan Noel yang saling bersahutan hingga menggema di seisi rumah. Dua bocah laki-laki itu bahkan saling dorong dan memukul satu sama lain. Leon yang lebih besar tak segan memukul adiknya. Tak jauh berbeda dengan Noel yang juga sekuat tenaga memukul abangnya. Namun, karena lutut Leon terluka, kini Noel yang memimpin pergulatan.

Pantas saja, Alby menyebut dua putranya sebagai kriminil cilik. Mereka seperti anak STM yang bertemu di jalanan untuk tauran.

Di ambang pintu kamar, Alby dan Naza sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu. Mereka menghela napasnya sambil berpangku tangan.  Inilah alasannya Naza meminta Alby untuk tidak menambah momongan dulu. Dua kriminil cilik itu saja sanggup membuat rumah porak poranda.

“Abang!” ucap Naza.

“Noel!” ucap Alby.

Mendengar suara ayah dan bunda mereka, dua bocah itu menoleh. Keduanya mematung dengan tangan yang masih saling menarik baju satu sama lain.

“Udah malem, masih aja.” Naza mulai mengomel. 

“Abang dolong Noel, Bunda,” rengek Noel, mengadu.

“Noel yang pukul duluan, Bunda.” Leon tak mau kalah.

“Abang duluan!”

“Bohong! Noel duluan, Bunda. Noel pukul lutut Abang kayak gini.” Leon memperagakan bagaimana tadi Noel memukul lututnya yang terluka.

“Abang teliak, Bunda. Kata Bunda, gak boleh teliak di lumah.” Meski dengan pelafalan yang cadel, Noel tetap membela diri. 

Rasanya, Naza ingin berteriak frustasi. Dia menghembuskan napasnya dengan kasar. Lalu, menghirup kembali udaranya begitu dalam.

“Tarik napas dalam-dalam ... buang ....” Alby malah mengusap punggung Naza. “Sekali lagi. Tarik ... buang. Sabar,” ucapnya.

Sambil mendelik, Naza menatap suaminya dengan sinis. “Ini yang Mas bilang mau nambah satu lagi?” tanyanya, sewot.

“Biar rame, Sayang.”

“Rame! Rame! Aku yang stress.”

Alby tertawa kecil. Dia langsung mendekati kedua putranya. “Jadi siapa yang duluan?” tanyanya.

Pertanyaan itu malah memancing Noel dan Leon untuk berselisih lagi. Dua bocah itu tak henti saling menyalahkan satu sama lain.

“Abang duluan, Ayah.”

“Noel duluan!”

“Abang!”

“Noel!”

Tak sanggup mendengarkan celotehan kedua putranya yang tak terhingga, Naza mengusap wajahnya dengan kasar dan ikut mendekati dua kriminal cilik itu. “Siapa yang mau cerita?” tanyanya.

Leon gak mau jadi Abang!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang