10. Keluarga & Teman

16.3K 1.1K 33
                                    

“Bilangnya rumah kita udah American Standard! Sayang, rumah kita udah dilengkapi ini dan itu. Semuanya udah otomatis dan praktis. Masa gak tau ada closet otomatis! Terus aja bangun apartemen buat orang lain, tapi rumahnya sendiri gak tau gimana bentuknya!”

Naza tak henti merajuk, mengomentari pekerjaan Alby  sebagai kontraktor pembangunan gedung dan apartemen. Dia bahkan meniru perkataan Alby seolah meledek. Perempuan cantik itu terus mengomel sepanjang hari hingga telinga Alby pengang rasanya.

“Mas cuma nanya aja, Sayang. Siapa tau belum.”

Sebetulnya, bukan karena masalah pekerjaan Alby atau fasilitas rumah mereka yang kurang, tapi Naza masih malu karena pertanyaan Alby. Entah harus ke mana Naza pergi mencari harga dirinya lagi di depan Alby.

“Terus kalau aku belum cebok, kamu mau cebokin gitu!” Naza makin menggebu-gebu saat menimpali ucapan Alby. Dia antara malu dan kesal pada suaminya itu.

“Iya.” Alby malah menyeringai tanpa dosa.

Rasanya, Naza ingin menelan Alby bulat-bulat saat ini juga. Sekarang, Naza mengerti kenapa Jimmy selalu bilang kalau Alby sangat amat begitu menyebalkan. “Ya, masa aku keluar kamar mandi tanpa bersih-bersih dulu!” teriaknya.

“Ya, ‘kan mas cu—”

“Apa? Cuma nanya? Tadi tuh, Mas ... aku udah selesai, tapi pas mau berdiri ....” Naza sengaja tak melanjutkan ucapannya. Dia memalingkan wajah, menghindari tatapan Alby di depannya. “Ngapain sih aku harus jelasin hal yang gak penting kaya gitu!”

“Iya, makanya jangan marah-marah terus.”

“Lagian, Mas. Masa yang kaya gitu juga mesti ditanyain!”

Mamah yang tak mengerti apa yang terjadi pada putra dan menantunya itu hanya menatap heran dari kejauhan. Sambil menimang-nimang Noel di gendongannya, perempuan paruh baya itu mendekati Naza dan Alby yang masih adu mulut di dapur.

“Ini kenapa, sih? Udah kaya kucing sama anjing, berantem terus dari tadi. Jangan sampe yang gak akur itu bukan Noel sama Leon, tapi malah emak sama bapaknya yang gak akur.” Mamah ikut mengomel.

“Tau tuh, Mah. Mas Alby nyebelin.”

Mamah langsung menatap Alby yang kini tengah cengengesan di samping Naza. “By, kamu tuh, ya. Kalau Jimmy udah biasa, masa istri kamu sendiri diisengin juga.”

Alby terkekeh hingga mata sipitnya makin menyipit dan menghilang. “Lucu, Mah.” Dia mencolek dagu Naza dengan usil. “Tuh, Mah. Gemes banget kalau Naza marah.”

“Diem, ah!” Naza menepis tangan Alby.

“Emang kenapa? Ada apa? Kalau ada masalah, diselesaikan dulu. Gak baik loh lama-lama berantem gitu,” tambah Mamah.

“Nggak, Mah. Tadi, mas cuma nanya, Naza udah—” Alby tak bisa melanjutkan ucapannya karena Naza dengan sigap menutup mulut Alby rapat-rapat.

“Ya udahlah. Jangan terlalu membesar-besarkan masalah. Selesaikan baik-baik dengan kepala dingin.” Mamah segera menyodorkan Noel. “Noel udah bobo, tapi kalau mamah yang mindahin ke kasur, suka bangun lagi. Mamah mau kemas-kemas dulu. Soalnya, penerbangannya nanti malem.”

Sambil mengambil alih Noel, Naza mengangguk samar. “Mamah sama Papah juga pulang hari ini?” tanyanya.

“Iya. Soalnya besok lusa Jimmy mau yudisium. Padahal, pulang sendiri juga bisa, tapi papanya gak percaya kalau biarin bujang satu itu sendirian di rumah.”

Naza hanya tersenyum canggung, dia mengingat saat membiarkan Jimmy sendirian di rumah. Bujang tinggi itu hampir membumihanguskan dapur beserta isi-isinya. Bahkan, bocah kelahiran 2000 itu mengundang Harsa dan Reksa untuk mengacaukan rumah.

Leon gak mau jadi Abang!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang