09. Rasa Sakit & Setetes Darah

18.1K 1K 8
                                    

Meringis merasakan ngilu di persendian lututnya, hari ini, Alby hanya duduk di tepi ranjang sambil menatap memar dan luka di kakinya yang sudah lumayan memudar.

Sudah hampir dua pekan berlalu setelah kecelakaan waktu itu, kondisi fisik Alby sudah jauh lebih baik sebetulnya. Namun, dia masih takut jika berjalan tanpa kruk yang menyangga tubuhnya. Meski tak ada tulang yang patah, tapi dia masih berhati-hati saat beraktivitas. Jujur saja, dia takut tulang kakinya akan kembali bergeser. Apalagi, jika harus merasakan sakitnya diurut lagi. Saking takutnya, Jimmy bahkan tak segan untuk meledek Alby dengan panggilan Mas Lebay. Padahal, memang sesakit itu.

Nggak mau lagi deh. Udah cukup sekali aja, batin Alby bergumam.

Pria itu meringis, mengingat kembali saat beberapa hari yang lalu dia diurut oleh tukang pijat keseleo yang sepertinya memiliki kekuatan Thanos. Tulang-tulang Alby serasa remuk. Jika tidak malu oleh Naza, Alby ingin sekali menangis meraung-raung saat kaki dan tangannya diurut.

“Itu belum seberapa sama sakitnya melahirkan, By.”

Perkataan Mamah itulah yang membuat Alby malu menangis di depan Naza. Jika diurut saja sudah sakit luar biasa, bagaimana dengan sakitnya melahirkan?

Sekarang, Alby tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya perjuangan seorang ibu melahirkan. Jika Alby menjadi perempuan, sepertinya Alby tak sanggup untuk merasakan sakitnya melahirkan. Bukan hanya rasa sakit, tapi juga nyawa juga dipertaruhkan.

Tiba-tiba, pikiran Alby berkelana sesaat. Dia tertegun dengan pandangan kosong. Dia teringat pada mendiang Zia dan wajah pucat Naza. Dulu, Zia mengorbankan nyawanya demi melahirkan Leon. Sekarang, Naza yang juga mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan Noel.

Alby rasa, mengemis maaf atau bahkan memberikan seluruh hidupnya untuk Zia dan Naza, belum mampu menebus perjuangan mereka berdua yang telah melahirkan kedua putra Alby.

Namun, Alby bersyukur kali ini Tuhan masih memberikan kesempatan untuknya menjaga Naza dan kedua putra mereka. Setidaknya, kali ini Alby bisa mencurahkan seluruh rasa terima kasih dan kasih sayangnya untuk Naza. Bukan sebagai pengganti Zia, bukan sebagai ibu sambung Leon, tapi untuk Naza, istri sekaligus ibu dari anak-anak Alby.

“Ayolah, Alby. Sakit segini doang! Gimana bisa bahagiain Naza kalo jalan aja gak bisa!” Alby bermonolog, menyemangati dirinya untuk belajar berjalan tanpa alat bantu. Sejak tadi, dia memang tengah belajar berjalan tanpa kruk di kamar. Namun, dia malah berakhir dengan memikirkan segala hal yang tiba-tiba datang di pikirannya.

Alby kembali mencoba berdiri. Dia tatap ujung kakinya yang terasa kebas karena terlalu jarang digerakkan. Pria itu tersenyum tipis sambil menggerakkan setiap jari kakinya. Tak lama, pandangan Alby berakhir pada lengannya yang kini juga sudah tidak diperban. Kalau diingat lagi, jangankan menjaga Naza, rasanya Alby belum benar-benar menggendong Noel dengan benar. Dia hanya sempat memangku jagoan kecilnya itu sambil duduk. Padahal, Alby ingin lebih dengan dengan si kecil, setidaknya dia ingin segera merawat dan menjaga Noel bersama Naza.

“Eh, Naza belum selesai?” Alby kembali bergumam. Dia baru ingat kalau istrinya itu tadi izin pergi ke toilet. Namun, sampai sekarang belum keluar juga.

Katanya, “Mas, aku kebelet pipis. Aku ke kamar mandi dulu, mumpung Noel sama Leon lagi sama kakek-neneknya.”

Naza memang sempat kesulitan saat buang kecil. Beberapa hari yang lalu dia selalu dibantu Ibu, tapi hari ini Ibu sudah pulang. Makanya, Alby cukup khawatir saat Naza tak kunjung keluar. Sambil merasakan ngilu di hampir seluruh tulang-tulang kakinya, Alby berjalan mendekati kamar mandi yang tak jauh di depannya.

“Sayang ... udah selesai belum?” Alby ketuk pintu kamar mandi sambil mendekatkan telinganya ke pintu, mendengarkan suara Naza di dalam sana.

“Eugh, Mas ... itu—” Suara Naza terdengar ragu di balik pintu itu.

Leon gak mau jadi Abang!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang