35. Perban & Kancing

10.1K 1K 28
                                    

“Ini akibatnya kalau gak nurut sama suami!” Alby berkacak pinggang sambil menatap istrinya yang duduk di brankar sebuah klinik kecil dekat perumahan. “Besok-besok, ngeyel lagi! Biar jatoh lagi!”

Yang kenal omel malah tersenyum manis. Perempuan cantik itu sibuk memainkan perban kecil di lengan kirinya, menghindari tatapan suaminya. “Maaf, Mas,” gumamnya begitu pelan.

Alby menghela napasnya. Dia memijat pangkal hidungnya dengan frustasi bercampur khawatir. Dia tatap kondisi istrinya. Setelah mendapat kabar istrinya kecelakaan, Alby langsung melesat seperti orang kesetanan. Untungnya, tidak ada luka parah. Tangan kiri Naza hanya terkilir dan ada beberapa baret dan memar di tangan dan kakinya.

“Nggak, gini loh ... kok itu helm bisa nyangkut di tangan kamu? Gimana ceritanya?” tanya Alby.

Naza malah tersenyum dengan tatapan polos seperti anak kecil. “Jadi—”

“Helmnya gak dipake.” Alby menimpali dengan cepat.

“Dengerin dulu. Helmnya aku pake, kok!” Naza kembali tersenyum, kali ini sambil cengengesan.  “Jadi ‘kan, Mas ... aku pulang dari pasar. Panas banget, apalagi bawa kresek belanjaan, ya udah aku buka dulu helmnya, toh udah deket banget ke rumah, ‘kan. Aku gantungin helmnya di tangan kiri aku. Ya, awalnya lancar aja, tapi pas di belokan, tali helmnya nyangkut di stang. Gak bisa belok dong aku. Aku panik, malah narik gas. Jatuh deh.”

Naza bercerita sambil tertawa seolah tak terjadi apa-apa. Padahal, Alby hampir kehilangan napasnya karena takut. Kalau bisa, ingin rasanya Alby menyedot ubun-ubun istrinya itu.

“Terus ada yang kerasa gak? Mana yang sakit?” tanya Alby. Lantas, dia duduk di samping Naza.

“Perih-perih aja, Mas. Sama ini tangan doang.” Naza menatap tangannya sambil merasakan ngilu di tulang-tulangnya.

“Untungnya cuma terkilir. Gak untung sih! Pokoknya, mulai hari ini mas gak izinin kamu bawa motor, apalagi mobil sendiri.”

“Ya, udah. Berarti mas yang harus antar aku 24 jam ke mana pun.”

“Iya, emang kamu mau ke mana sih? Paling antar Leon sama Noel sekolah doang.”

“Belanja, meeting sama Jimmy, terus ke salon, ke tempat senam, terus beli keperluan Leon sana Noel, keperluan kamu juga.”

Saat Naza sibuk mengabsen kegiatannya setiap hari, Noel diam-diam mendekati. Bocah itu kecil memang ikut sejak tadi, tapi dia tak berani mendekat saat bundanya memakai perban dan melihat bercak darah yang mengering di baju bundanya. 

“Bunda,” panggilnya pelan.

Alby menggerakkan tangannya, memberi kode agar Noel duduk di sampingnya. “Sini.”

Noel berlari kecil. Dia tatap wajah bundanya dengan sendu. “Bunda sakit?” tanyanya sambil terisak-isak.

“Enggak. Luka sedikit aja, gak sakit.” Naza usap kepala Noel, kemudian menatap Alby. “Mas, pulang yuk. Gak enak di sini, bau obat. Kasian, Noel gak baik kalau lama-lama di klinik. Leon juga benatar lagi pulang. Di rumah gak ada siapa-siapa.”

Setelah menebus obat dan memastikan Naza bisa pulang, keluarga kecil Alby kembali pulang ke rumah mereka bersama mobil derek yang mengekori dari belakang, membawa motor Naza yang sudah ringsek tak berbentuk.

Mungkin tadi karena efek obat, rasa sakit dan ngilu yang hebat baru Naza rasakan saat berbaring di kamar. Badannya terasa panas dingin, kepalanya pening. Belum lagi dengan sensasi nyut-nyutan yang terasa sampai ke ubun-ubun. Perempuan cantik hanya bisa berbaring di balik selimut sambil mengerang pelan.

Di sisi kanan dan kirinya ada Noel dan Leon yang sejak tadi duduk menemani. Kedua bocah itu begitu tenang menunggu bundanya. Tadi, Alby meminta kedua putranya untuk menjaga Naza, selama dia menyiapkan bubur di dapur.

Leon gak mau jadi Abang!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang