Setelah mengetahui bundanya hamil, Leon tak mau berangkat sekolah. Bocah itu mengurung dirinya di kamar seharian. Dia bahkan menolak mainan dari Alby dan bujukan dari Naza untuk makan. Sampai tengah hari pun, pintu yang penuh dengan tempelan stiker karakter superhero itu masih tertutup rapat dan sengaja dikunci dari dalam. Tolong ingatkan Naza dan Alby untuk mengganti pintu kamar Leon dan Noel agar tak bisa dikunci dari dalam. Sudah berulang kali Naza mengetuk pintu itu, tapi selalu berakhir dengan rengekan Leon dari dalam sana.
Katanya, “Abang keluar kalau bayinya udah keluar dari perut bunda!”
Naza hanya bisa menghela napasnya. Padahal, dia dan Alby mengira bahwa Leon mulai mengerti dan akan menyambut hangat adiknya yang kedua.
Ternyata, tidak.
Leon pikir, satu Noel saja masih sangat merepotkan, apalagi jika ada dua Noel. Meski sekarang Noel sedikit menyenangkan saat diajak bermain, tapi untuk nambah adik, Leon menolak mentah-mentah. Alasannya tetap sama, Leon takut kasih sayang ayah dan bundanya akan lebih sedikit lagi. Ibaratnya sebuah kue, satu kue dibagi dua aja sudah sangat kecil, apalagi dibagi tiga. Itulah pertimbangan Loen kenapa dia sangat menolak untuk nambah adik lagi. Apalagi jika nanti adiknya sepintar Noel atau bahkan lebih lucu dari Noel.
Di dalam kamarnya, Leon menggeleng ribut, membayangkan akan sekecil apa nantinya kasih sayang ayah dan bunda untuknya.
Lain kepala, lain pula isinya. Tak sama seperti si Abang Leon, si kecil Noel sudah tidak sabar untuk berganti status dari adik menjadi Abang. Noel pikir, menjadi Abang akan menyenangkan. Dengan menjadi Abang dia bisa melakukan semuanya, mulai dari bermain sepatu roda sendiri, belajar bela diri, hingga bebas membeli es krim sepuasnya—sama seperi abangnya, Leon. Makanya, setiap detik dia bertanya, kapan adik bayinya akan segera keluar.
“Ayah, adik bayi udah keluar belum?”
Itu pertanyaan yang mungkin keseratus kalinya Noel tanyakan pada Alby. Padahal, tadi pagi Alby sudah menjelaskan bahwa adik bayi perlu waktu untuk keluar perut bundanya. Sekarang, saat pulang sekolah pun, bocah kecil itu kembali menanyakan hal yang sama.
“Belum, keluarnya masih lama.”
Noel menatap ayahnya. Dia duduk di kursi penumpang sambil menerka kenapa bayi butuh waktu banyak untuk keluar. “Ayah, adik bayi gak tau jalan buat keluar?” tanyanya.
Sambil menyetir mobilnya, Alby melirik Noel sekilas. “Bukan gak tau, tapi emang belum waktunya buat keluar. Bayi harus di dalam perut bunda selama sembilan bulan.”
“Sembilan bulan!” pekik Noel, terkejut. Noel tahu, dalam satu bulan ada 30 hari, itu artinya bayi perlu 30 hari sebanyak sembilan kali untuk keluar. Dengan kata lain, masih lama untuknya menyandang gelar Abang.
Noel langsung mengambil buku dan pensil dari tasnya. Bocah itu menggambar lingkaran kecil banyak sekali hingga berlembar-lembar. Dia begitu serius menggambar bulatan demi bulatan hingga tak jarang helaan napasnya terdengar saat tangan mungil itu mulai pegal. Tak jarang pula, tulisannya tercoret saat Alby berbelok atau menambah kecepatan laju mobilnya.
“Ayah! Jangan cepet-cepet!” Noel protes.
“Noel emang nulis apa?” tanya Alby.
Noel hanya menggeleng dan kembali memasukkan bukunya ke dalam tas. Kemudian, dia kembali menatap jalanan di depan mereka yang sekarang cukup ramai saat jam makan siang.
Saat sampai di rumah, Alby dan Noel dikejutkan oleh Naza yang tengah mengendap-endap di depan garasi.
“Jangan berisik,” bisik Naza sambil meletakkan telunjuk di depan bibirnya yang berwarna merah muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Leon gak mau jadi Abang!
RomantikSEQUEL TURUN RANJANG Hanya keseruan Alby dan keluarga kecilnya ditambah dengan kegemoyan Leon yang gak mau jadi Abang. ps. Ada ilustrasi komik di setiap babnya.