18. Jantung Copot & Rahasia Pernikahan

14.5K 1.1K 46
                                    

“Ayah!”

Alby langsung berlari saat mendengar Naza berteriak dari lantai atas. Berbagai macam pikiran buruk hinggap di kepalanya. Sekuat tenaga pria itu menaiki anak tangga hingga rasanya kakinya tak berpijak ke lantai sama sekali. Dengan deru napas yang tak karuan, dia buka pintu kamar dengan wajah panik bercampur keringat.

“Kenapa?” tanya Alby.

Naza menoleh. Perempuan itu tersenyum. “Bayi bisa tengkurap sendiri,” ucapnya.

Jiwa Alby serasa pergi dari tubuhnya sendiri. Pria itu bersandar di ambang pintu dengan lulut yang tiba-tiba terasa lemas. “Naza Diana ... mas kira kalian kenapa-kenapa. Teriakan kamu itu loh, bikin jantung mau copot,” ucapnya.

Naza malah tertawa. “Maaf ... tapi perasaan, aku teriak biasa aja, deh.”

Alby mencebik. Setelah mengumpulkan tenaga dan jiwa raganya kembali, dia berjalan mendekati istri dan putranya itu. “Kamu teriak udah mirip ibu-ibu kena jambret,” ledeknya.

Naza makin cekikikan. Dia tertawa sambil menatap Noel yang tengah berusaha untuk berguling kembali. “Tuh, tuh, Mas. Bisa tengkurap sendiri, pinter banget anak aku,” pekiknya dengan gemas.

“Anak kita.” Alby menimpali dengan cepat.

“Anak aku sama Mas,” timpal Naza sambil tertawa.

Tanpa melepaskan pandangannya dari Noel yang masih berguling-guling di tempat tidurnya, Alby membawa Naza dalam dekapannya. Dia ciumi aroma rambut Naza, aroma shampo yang segar dan wangi.

Naza menatap Alby sekilas, lantas melingkarkan kedua tangannya di perut Alby. “Hari ini, Mas nggak ke kantor?” tanyanya.

“Enggak, nanti Reksa bakal ke sini sama pengacara.”

Naza langsung melepaskan pelukannya. Dia menatap Alby, harap-harap cemas. “Udah ketahuan pelakunya?” tanyanya.

Alby menatap kosong, mengingat hari-harinya yang dihabiskan untuk menemukan pengkhianat di perusahaannya. “Ya ... berkat Pak Rekal, transaksinya ketahuan. Catatan keuangannya juga bisa jadi bukti. Tapi, orangnya masih nggak mau ngaku.”

“Kalau semua penjahat ngaku, penjara bakal penuh, Mas.”

Alby mengangguk. “Bener. Makanya, kalau dia masih mengelak dan gak mau diajak kompromi dengan cara baik-baik, mas akan bawa masalah ini ke jalur hukum.”

“Semoga ada jalan keluar yang terbaik, ya, Mas.”

Alby kembali mengangguk. Dia menatap sekeliling kamar. “Leon mana?” tanyanya.

“Tuh.” Naza mengangkat dagunya, menunjuk tempat tidur Leon yang berbentuk pesawat terbang di sudut kamar. “Masih tidur. Tadi malem dia tidur jam satu pagi.”

“Sekarang, Leon emang susah tidur malem. Waktunya orang tidur, dia malah main. Waktunya orang bangun, dia baru tidur.” Alby melongok, memeriksa putra sulungnya yang masih nyenyak di sana, berbeda dengan Noel sudah bangun dari pagi.  “Eh, itu ngompol?” tanyanya.

“Iya, tapi masih nyenyak aja tuh Abang satu.”

“Nggak pake popok?”

Naza langsung tersenyum. “Belum beli,” jawabnya.

Tatapan Alby langsung tertuju ada wajah cantik Naza. Pupilnya perlahan bergetar. “Uangnya gak ada?” tanyanya ragu.

Naza genggam tangan Alby dengan kedua tangannya. “Jangan mikir yang bukan-bukan. Aku sengaja gak beli popok, biar Leon mulai belajar, udah mau tiga tahun dia. Eh, masih lama sih,” ucapnya sambil tertawa kecil.

Leon gak mau jadi Abang!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang