PART 12
Nara sudah tidak sabar lagi ingin segera mengamuk pada Martin. Karena pria itu sukses membuat segalanya jadi bertambah runyam seperti saat ini. Ibunya jadi percaya jika sekarang mereka telah berpacaran, bahkan mempercayakan dirinya kepada Martin begitu saja, dan sama sekali tidak ingin menghalangi hubungan mereka. Karena menurut ibunya, mereka berdua sudah sama-sama dewasa.
Namun, rasa ingin mengamuknya itu harus ditahan dulu untuk sekarang, karena ibunya masih berada di apartemen. Bahkan mie rasa soto yang tadi sempat dibuatnya pun sedang disantap oleh Martin. Lantaran ia tidak berselera lagi memakan mie yang sudah mendingin.
Nara lantas membuat mie yang baru setelah ibunya menolak saat ditawari mie juga. Karena wanita itu lebih memilih sisa buah mangga yang masih ada di dalam kulkas miliknya, lalu mengupasnya dengan santai sambil sesekali mengobrol dengan Martin di dapur apartemennya.
Nara jadi gondok sendiri. Tetapi, ia tetap merebus mie dengan hati-hati. Jangan sampai kekesalannya ini malah akan membahayakan dirinya sendiri.
“Tante udah bilang ke Papi-nya Nara tentang hubungan kalian berdua, tapi tenang aja, Tante enggak ngadu kok sama dia soal yang di sofa tadi.” Sarah tampak menaruh ponselnya ke atas kitchen island setelah melihat balasan pesan dari suaminya. Ia lantas melanjutkan lagi pekerjaannya yang tadi sedang mengupas kulit mangga.
Sementara Martin hanya tersenyum tipis, kemudian menganggukkan kepala. Ia mengucapkan terima kasih kepada Sarah.
“Tapi, inget ya. Kamu tetep enggak boleh macem-macem sama Nara.” Sarah langsung memperingatkan sambil memasang wajah galak. Padahal aslinya wajah wanita itu memang sudah galak. “Kalau sampe ketahuan, bakal langsung Tante nikahin kalian berdua,” sambungnya ketus dan tidak ingin dibantah.
Martin kembali mengiakan sembari menganggukkan kepala. Sedangkan Nara yang terus berdiri di balik meja kompor, hanya mampu misuh-misuh sebal secara diam-diam, dan ia pun bertekad jika hal itu tidak akan pernah kejadian. Ia tidak ingin dinikahkan dengan Martin, sehingga ia pun akan extra hati-hati dan akan terus memproteksi diri, supaya ia tidak terjerumus ke segala godaan serta bujuk rayu Martin. Nara berjanji kalau kekhilafannya di sofa tadi adalah yang pertama dan terakhir. Setelah ini tidak lagi, dan jangan sampai terjadi.
Nara segera amit-amit sembari mengetuk-ngetuk pelipisnya dan meja kompor secara bergantian.
Martin yang menyadarinya, tampak menegakkan punggung dan menyipit ke arah Nara. “Lihat, Tante. Ngapain dia itu?”
Sarah yang duduk di hadapan Martin sekaligus membelakangi Nara, tampak segera menolehkan kepala. “Dek! Kamu ngapain sih?”
“Lagi amit-amit, Mi. Jangan sampe aku dinikahin sama Martin,” sahut Nara tanpa tedeng aling-aling.
Martin semakin menyipit, nyaris mendengkus dan protes jika saja Sarah tidak lebih dulu tertawa, kemudian berujar dengan nada santai. “Kamu ini, jangan lama-lama dong, marahnya.”
“Memangnya dia tadi ngambek gara-gara apa sih, Tin?” tanya Sarah yang kini sudah berpaling ke arah Martin lagi.
“Biasa, Tante. Dia ngambek,“ ucap Martin sembari mengerling jahil ke arah Nara yang baru saja membuka bungkus mie-nya dengan ribut di belakang tubuh sang ibu. “Karena aku terlalu sibuk. Weekend gini aku malah pergi meeting.”
Sarah tampak manggut-manggut, lalu memberikan sedikit nasihat agar anak itu jangan terlalu memforsir diri kepada pekerjaan. “Mungkin maksud Nara baik, supaya kamu gak kecapek-an, terus sakit,” sambung Sarah yang membuat Nara langsung membatin.
Aku bahkan gak peduli, Mi. Mau dia sakit atau enggak, terserah! Ngapain ngurusin Martin.
“Lagian, memangnya kamu gak capek apa kalau kerja setiap hari?” tanya Sarah pada Martin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dinara
RomanceSemua berawal dari busana biru pastel, ciuman terdesak, serta aksi yang dipergoki oleh ibunya, hingga membuat Nara harus terjebak bersama pria berengsek seperti Martin dalam kurun waktu yang lama. Entah sampai kapan, tapi mampukah Nara mengatasi ini...