PART 20

16.7K 953 41
                                    

PART 20

Lagi-lagi, Nara tampak termenung. Ia menatap cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Rasanya ia masih tidak percaya, bahwa saat ini cincin tanda keseriusan itu memang benar, sudah ada dan melingkar dengan sangat cantik di sana. Itu artinya ... ia dan Martin ... mereka serius menjalin hubungan, dan tidak menutup kemungkinan kalau keduanya akan segera melangkah ke jenjang pernikahan.

Nara lantas mengkaji ulang tentang ini semua. Maukah ia menikah dengan Martin? Siapkah ia menjalani biduk rumah tangga dengan Martin? Bersediakah ia menghabiskan sisa hidupnya bersama Martin? Melakukan banyak hal berdua bersama Martin?

Jujur saja, Nara masih belum tahu. Ia belum bisa menentukan jawaban untuk semua pertanyaan itu.

Namun, ia tetap berjanji, bahwa dirinya akan menjalani hubungan ini dengan sangat serius. Ia tidak akan membiarkan orang lain—perempuan maupun laki-laki—datang untuk mengusik hubungan mereka saat ini.

“Diliatin terus,” gumam Martin yang baru saja menghampiri Nara dan mencuri satu kecupan singkat di atas pelipis gadis itu. Ia tersenyum, lantas menyeruput es kelapa muda yang tersedia di atas meja. Membuat Nara berdecak samar, karena es kelapa muda yang diminumnya itu bukan miliknya, melainkan milik gadis itu, sedangkan miliknya sendiri tampak masih utuh.

Setelah itu, keduanya pun mulai terlibat ke dalam sebuah obrolan, mengenai beberapa agenda yang—mungkin—akan mereka lakukan selama beberapa hari ke depan. Lantaran saat ini keduanya sedang berada di Lombok, untuk urusan pekerjaan. Karena seperti yang pernah diucapkan oleh Martin sebelumnya, bahwa pria itu mempunyai keinginan untuk mengajak Nara ikut serta setiap kali dia tengah memiliki urusan di luar kota, maka di sinilah Nara berada. Ikut berangkat ke Lombok setelah Martin berhasil meminta izin kepada orang tuanya, serta berhasil melobi sosok Pram agar dirinya bisa mendapatkan cuti dadakan.

Mereka tidak hanya berangkat berdua, melainkan berempat bersama Shintya—sekretarisnya Martin, serta Ardan—tim legal dari perusahaannya Martin.

Mereka—minus Nara—akan mengadakan pertemuan sekaligus menandatangi kontrak kerja di sini. Rencananya pertemuan itu akan digelar besok sore. Tetapi, Martin sengaja berangkat lebih awal dan tiba di Lombok sore ini. Supaya dirinya bisa menikmati sedikit waktu luang bersama Nara, karena ini adalah—sebut saja—momen liburan pertama mereka setelah keduanya meresmikan hubungan. Martin bahkan sudah memperkenalkan gadis itu sebagai calon istrinya, meski mereka berdua belum tahu kapan pernikahan itu akan terlaksana.

“Malem ini kita tidur sekamar.“ Martin tampak mengedipkan sebelah matanya, yang membuat Nara gemas ingin menghantam wajah pria itu menggunakan tas yang sejak tadi dijinjing olehnya.

“Kamu kayaknya nyari kesempatan banget ya biar bisa berdua-duaan sama aku? Padahal Mama kamu udah pesen, jangan sekamar, tapi masiiih aja ....”

Nara membiarkan Martin merangkul pinggangnya, lalu terpekik kaget saat pria itu mulai menggendongnya ala bridal style. Ia sempat menoleh tidak enak pada beberapa penjaga resort yang berdiri tak jauh dari sana. Karena saat ini keduanya sedang berjalan di jalan bebatuan setapak menuju ke arah kamar mereka berdua. “Dasar, anak bandel.”

Namun, Nara tetap mengalungkan lengannya di leher pria itu. Karena ia harus berpegangan supaya tidak jatuh.

“Vibes-nya udah kayak orang yang lagi honeymoon,” celetuk Martin setelah mereka berdua berhasil masuk. Ia lantas menurunkan Nara, yang membuat gadis itu refleks membenarkan rambutnya. “Kapan sih aku boleh nikahin kamu?” tanyanya sembari memeluk Nara dari arah belakang, lalu membiarkan gadis itu melempar pelan tasnya ke atas sofa.

Nara terkekeh samar sebelum berbalik badan, dan ikut melingkarkan tangannya di leher Martin—membalas pelukan pria itu di tubuhnya. “Kenapa kamu malah jadi ngebet banget pengen nikah? Hm?” tanyanya dengan nada geli yang cukup kentara. “Bukannya kamu belum siap ya? Waktu itu Tante sendiri yang bilang, pas di acaranya Raina.“

Nara masih ingat, karena pesta pernikahan itu baru berlangsung sekitar 2 bulanan yang lewat. Bahkan Raina—si pengantin baru pun tampak masih asyik menikmati waktu honeymoon bersama suaminya. Nara tahu, karena ia cukup sering melihat status WA milik perempuan satu itu. Kurang-lebih, isinya sama seperti instastory maupun feed yang dibagikan oleh Raina untuk orang-orang di sosmed.

“Itu kan waktu itu, sekarang udah beda.” Martin lantas menunduk, menyatukan bibir mereka berdua.

Nara refleks memejamkan mata. Ia membalas kecupan dari Martin yang terasa sangat manis di bibirnya. Ia nyaris lupa bagaimana rasa bibir pria itu jika saja saat ini mereka tidak memulai untuk saling berciuman. Karena sudah lebih dari 2 minggu mereka sama sekali tidak melakukannya. Mungkin kedatangan mereka ke Lombok ini adalah saat yang tepat bagi mereka berdua untuk menghabiskan waktu bersama. Lantaran setelah Martin menyematkan cincin di jari manis tangan kirinya, mereka berdua jadi dilarang berpacaran di tempat-tempat yang tertutup, termasuk apartemennya, karena ayahnya yang berpesan. Bahkan sampai hari ini pun, Nara masih belum mengetahui sebenarnya apa yang tengah disembunyikan oleh Martin bersama ayahnya. Karena kedua orang itu terasa sangat mencurigakan di penglihatan matanya, dan Nara yakin jika itu bukan hanya perasaannya saja, tapi memang sungguhan. Kalau ada yang sedang mereka berdua sembunyikan.

***

Hal pertama yang dilihat oleh Nara begitu ia tak sengaja membuka mata, adalah sosok Martin yang sedang tersenyum sembari memandangi dirinya. Kelakukan pria itu sontak saja membuat Nara jadi merasa sedikit salah tingkah, lalu ikut tersenyum—walau tipis, dan segera berbalik badan. Ia masih mengantuk, dan sepertinya hari juga masih sangat gelap. Karena jendela yang tidak tertutup rapat, dapat memberikan kisi-kisi tentang bagaimana keadaan di luar.

Martin lantas terkekeh pelan. Ia semakin merapatkan tubuh sebelum memeluk gadis itu dari arah belakang, kemudian menghidu aroma segar yang masih menguar dari helaian rambut panjang milik Nara. Terasa sangat wangi, dan membuat hidungnya jadi betah untuk berlama-lama berada di sana.

Semalam mereka tidur setelah melakukan pillow talk sebentar sembari—sedikit—bermesraan. Hanya sentuhan-sentuhan kecil biasa. Karena keduanya memutuskan untuk tidur lebih awal, lantaran sejak tiba di resort kemarin, keduanya sama sekali belum sempat beristirahat di dalam kamar. Melainkan menghabiskan waktu di sekitaran resort sembari duduk-duduk di kursi malas sampai matahari terbenam, dan mereka langsung melanjutkan aktivitas untuk makan malam.

Sejauh ini, Nara masih merasa sangat nyaman dengan keberadaan Martin di sekitarnya. Karena pria itu sama sekali tidak berulah. Hanya tidur dengan tenang di sampingnya, meski sesekali pria itu akan memeluk dirinya.

“Tidur lagi, Ra. Ini tuh sebenernya masih jam tiga,” gumam Martin tepat di belakang kepala Nara.

“Terus ... kenapa kamu udah bangun?” tanya Nara dengan suara agak serak, khas orang yang baru bangun tidur.

“Gak sengaja kebangun, terus ngelihat kamu, lho ... kok cantik banget,” bisik Martin sembari tersenyum.

Diam-diam, Nara juga ikut tersenyum. “Gombal banget.”

“Beneran. Kamu kelihatan cantik banget.”

Nara hanya tertawa pelan sebelum membenarkan letak selimut. Matanya kembali terpejam, karena ia memang masih merasa sangat mengantuk. Begitu pula dengan Martin, lama-kelamaan ia kembali merasa tenang sekaligus mengantuk akibat wangi segar dari rambut gadis itu. Ditambah lagi dengan suasana kamar yang sepi, dan sedikit temaram seperti saat ini. Sangat mudah bagi dirinya untuk kembali terlelap seperti beberapa saat yang tadi.

******

Bentar lagi udah mau masuk konflik, tapi tenang. Konfliknya bakal yang ringan2 aja kok. Karena cukup di dunia nyata aja aku pusing ngurusin hidup 😂 di dunia fiksi gak perlu. Apa lagi Nara ini kan nasib percintaannya blm ada yang mujur 🤣

Rabu, 13 Sep 2023

DinaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang