Martin be like: hujat terooosss
😂
__________
Happy reading, gaes.
PART 40
Nara masuk ke dalam lift, dan pupil matanya sontak membesar begitu mengenali salah satu orang yang sudah lebih dulu berdiri di sana. Sehingga ia pun memutuskan untuk menundukkan wajah, serta bersikap seolah-olah mereka sama sekali tidak saling mengenal. Karena ia malas berinteraksi dengan orang yang satu itu, walau kenyataannya mereka dulu sempat sangat dekat. Bahkan pernah merajut mimpi bersama.
Namun, berbeda dengan Nara yang mencoba untuk menghindar, orang itu malah menegurnya secara terang-terangan, seakan-akan semuanya baik-baik saja.
“Kamu lagi ada keperluan apa di sini? Siapa yang sakit?”
Pria itu tampak bersuara lagi setelah menyapa Nara, tapi tidak ditanggapi. Hingga membuat salah satu orang asing di sana jadi melirik mereka sebentar sebelum fokus lagi pada layar ponsel di tangan.
Nara lantas berdeham pelan, kemudian menjawab pertanyaan yang dilayangkan oleh Ben barusan. Karena merasa tidak enak, dan tidak ingin dicap yang bukan-bukan oleh 2 orang asing yang juga berdiri bersama mereka. “Gak ada yang sakit. Aku tadi cuma lagi ngecek kandungan aja—”
“Oh?!” Ben terlihat sangat terkejut. Kepalanya refleks melirik ke arah perut mantan kekasihnya itu. Tampak belum menonjol, nyaris tidak memiliki perubahan apa pun. Mungkin karena masih baru. “Kamu hamil?”
“Iya.”
Dan tanpa diketahui oleh Nara, sesungguhnya saat itu Ben sempat memasang raut wajah masam. Tetapi, pria itu cukup pintar untuk segera mengubah ekspresi wajah. Lalu membahas hal lain, karena ternyata berita kehamilan dari mantan kekasihnya itu sama sekali tidak membuatnya merasa bahagia, apa lagi sudi untuk mengucapkan kata selamat.
“Udah lama ya, kita gak ketemu?”
Nara hanya mengangguk. Karena terakhir kali mereka bertemu saat di toko perabotan waktu itu. Sudah berbulan-bulan yang lalu. Mungkin sudah hampir setahun.
“By the way, mana suami kamu?” Ben bertanya lagi. Karena ia sama sekali tidak melihat sosok Martin. Padahal, harusnya pria itu ada di sini. “Sori, aku gak dateng ke pernikahan kamu.”
“Enggak masalah.” Aku memang enggak berharap kalau kamu bakal dateng.
Untungnya, sebelum Ben sempat kembali bertanya ataupun mengajaknya mengobrol seperti semula, pintu lift sudah lebih dulu terbuka.
Nara tampak segera melangkahkan kakinya. Tetapi, ternyata Ben malah membuntuti dirinya.
Wanita itu sontak mengerang samar sembari memejamkan matanya sebentar. Mencoba menyabarkan diri, padahal saat ini suasana hatinya sedang buruk sekali.
“Mana suami kamu? Seharusnya dia ada di sini kan buat nemenin kamu?”
“Dia sibuk.“
Jawaban itu langsung memancing Ben untuk tersenyum. Tetapi, bukan jenis senyuman yang terlihat menyenangkan, melainkan senyum sinis atas perkataan serta nada bicara wanita itu barusan.
“Aku udah pernah bilang, ‘kan?“ tanya Ben dari arah belakang tubuh Nara. Ia membiarkan wanita itu terus berjalan, tapi ia tetap mengikuti dari arah belakang. “Dia itu bukan orang yang baik buat kamu.”
Nara sontak menoleh geram ke arah pria itu. “Kamu enggak tahu soal apa pun, jadi berhenti membicarakan omong kosong.”
Ben tampak mengendik. Terlihat santai sekali. “Kalau dia memang orang yang baik, suami yang baik, dia enggak mungkin sibuk di hari minggu begini.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Dinara
RomanceSemua berawal dari busana biru pastel, ciuman terdesak, serta aksi yang dipergoki oleh ibunya, hingga membuat Nara harus terjebak bersama pria berengsek seperti Martin dalam kurun waktu yang lama. Entah sampai kapan, tapi mampukah Nara mengatasi ini...