PART 26

12.5K 745 26
                                    

PART 26

Tak butuh waktu lama, hubungan mereka pun akhirnya sudah mulai membaik dengan sendirinya. Dan Martin juga sudah tidak pernah lagi mengulangi kesalahannya, yang membuat Nara jadi semakin yakin jika pria itu sudah benar-benar berubah.

Selain itu, dalam rentang waktu yang sebenarnya tidak terlalu lama setelah kejadian di Lombok waktu itu, pernikahan Tiff dan Jo tampak sudah semakin lebih dekat. Nara bahkan sudah sempat ikut merayakan acara bridal shower untuk Tiffany di salah satu hotel ternama. Acara itu diselenggarakan sekitar 3 minggu sebelum hari-H. Sampai suatu ketika, ayahnya tiba-tiba saja bertanya. “Dek, kamu serius mau sama Martin?”

Saat itu dirinya memang sedang berada di rumah, kunjungan rutin yang kembali dilakukannya tanpa rasa terpaksa, ataupun harus ditelepon terlebih dahulu oleh ibunya, dan ayahnya bertanya tepat setelah ia selesai membantu ibunya mencuci piring bersama salah satu kakak iparnya selepas jam makan malam. Karena nyaris setiap weekend, rumah kedua orang tuanya memang nyaris tidak pernah sepi dari berbagai macam kunjungan. Termasuk kunjungan dari anak, menantu, serta cucu-cucunya. Walau terkadang tidak semua anak, menantu, dan cucunya bisa berkumpul semua di sana, tapi setidaknya akan ada 1 atau 2 keluarga yang akan tetap datang berkunjung ke sana.

Nara lantas segera mengeringkan kedua telapak tangannya yang basah, lalu mengikuti sang ayah sudah lebih dulu duduk di salah satu kursi tinggi yang terletak tak jauh dari sana. Mereka mengobrol berdua, membiarkan kakak iparnya melipir perlahan, sedangkan ibunya tetap berada di sana, sedang bersiap membuatkan susu untuk beberapa cucunya.

“Kenapa, Pi?”

Baskara terkekeh samar, “Kok kamu malah nanya balik sih? Jawab dulu pertanyaan Papi tadi.“

“Ya, mau, Pi. Memangnya kenapa? Papi ragu ya buat kasih restu ke kami berdua?“

Baskara tidak menyanggah ataupun mengiakan. Justru ia kembali melemparkan sebuah pertanyaan. “Kamu yakin mau sama dia?”

Nara tampak menganggukkan kepalanya, yang membuat Baskara kembali bersuara.

“Tapi, mantannya banyak lho.”

“Enggak masalah, Pi. Yang penting sekarang dia udah enggak sama mantannya lagi.”

“Kamu yakin?“

Nara jadi ragu begitu mendengar pertanyaan ayahnya barusan itu. Apa ayahnya ingin menunjukkan sesuatu?

Cukup lama Nara merenung, menatap lurus permukaan kitchen island. Sampai akhirnya, ia pun memilih untuk mengangguk. “Aku yakin, Pi.”

Baskara tampak mengangguk samar, meski hanya satu kali. Sejurus kemudian, ia pun berujar kembali. “Berarti kalau orang tuanya dateng ke sini buat ngelamar kamu secara resmi, kamu enggak bakal nolak sama sekali?”

Nara langsung mengerjap kaget. “Maksudnya, Pi?“

Sarah yang sedang mengaduk susu, tampak terkekeh. Kemudian mengangkat nampannya, dan berujar dengan nada santai. “Keluarga Fabian mau dateng ke sini, buat ngelamar kamu. Karena dua hari yang lalu Martin udah lulus seleksi dari Papi kamu.”

Nara yang masih merasa kaget dan bingung, tampak segera meminta penjelasan mengenai hal itu. “Seleksi? Seleksi apa, Mi? Pi?”

Sarah terlihat sudah semakin menjauh dengan sebuah nampan berisi 3 gelas susu.

Ibunya itu malah kabur, melarikan diri dari dapur.

“Papi enggak mungkin iya-iya aja pas tahu kalau kamu udah pacaran sama Martin. Enggak semudah itu, Dek. Tapi, kamu gak perlu tahu.” Baskara tampak menjelaskan sembari tersenyum singkat, bahkan menggelengkan kepalanya dengan gerakan samar. “Papi enggak akan ngulangin kesalahan yang sama, dan ngebiarin anak terakhir Papi bernasib sama kayak salah satu kakaknya. Cukup kakak kamu aja, kamu-nya jangan.” Sebelah telapak tangan Baskara sudah terangkat, mengusap lembut puncak kepala putri bungsunya. “Bahkan Kakak kamu—Nona—langsung nemuin Papi begitu tahu kalau kamu pacaran sama Martin. Dia juga enggak mau ngelihat kamu ngalamin apa yang udah pernah dia alamin. Cukup dia aja, jangan kedua adiknya.”

DinaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang