Awali weekend dgn senyuman 😊
Happy reading, guys!
***
PART 14
“Stop sini aja. Heyyy!”
Nara langsung panik saat Martin melewati teras lobi gedung apartemen, dan malah terus melajukan mobilnya ke arah basement. Sedangkan Martin hanya tertawa ringan. Membiarkan Nara sibuk memprotes.
Nara dapat merasakan jika feeling-nya saat ini sedang terasa kurang baik, dan ia tidak akan membiarkan Martin untuk ikut mampir.
“Kamu enggak usah ikut naik, karena aku enggak terima tamu cowok,” katanya sembari bergerak membuka seat belt. Tetapi, sebelum ia menyentuh pintu, Martin sudah lebih dulu mengunci pintu itu kembali. Yang membuatnya jadi semakin bertambah panik. Apa lagi basement ini juga tampak begitu sepi. “Jangan macem-macem,“ ucapnya dengan penuh peringatan, sarat akan ancaman, tapi di saat yang sama, ada ketakutan yang juga ikut tersirat. Karena sesungguhnya ia memang takut jika Martin akan berbuat macam-macam terhadap dirinya.
Lagi-lagi pria itu hanya tertawa ringan, seolah tanpa beban. Padahal jantung Nara sudah jumpalitan. Merasa gugup sekaligus was-was.
“Aku cuma mau ngomong sebentar,” ungkap Martin tak lama kemudian.
“Ya udah, cepet! Mau ngomong apa?!” tanya Nara dengan tidak sabar. Karena ia ingin turun sekarang.
Martin benar-benar merasa geli begitu melihat tingkah laku Nara. Ia jadi tidak tahan untuk segera mengejeknya. Tetapi, ia tidak mungkin melakukan hal itu sekarang. Karena ada hal yang jauh lebih penting ketimbang mengejek Nara seperti biasa. “Mama mau ngundang kamu buat main ke rumah.“
“Enggak bisa,” tolak Nara tanpa pikir panjang. “Aku enggak mau main ke sana.”
Martin langsung berdecak. “Aku enggak terima penolakan.”
“Bodoh amat. Aku gak peduli. Aku mau turun sekarang.” Nara mencoba untuk membuka pintu mobil walau nihil. “Buka pintunya,” pintanya pada Martin.
“Enggak akan aku bukain sebelum kamu setuju buat ikut aku main ke rumah. Biarin aja kita kekunci di sini. Aku enggak keberatan.”
Nara sontak mendengkus keras. Mungkin pria itu memang tidak akan keberatan, tapi ia yang amat-sangat keberatan. “Buka!“ suruhnya galak. “Atau aku bakalan teriak.”
“Teriak aja. Aku enggak takut,“ sahut Martin dengan nada santai. “Lagian, gak bakal ada yang denger. Kalaupun ada, memangnya bisa apa orang itu? Kamu lupa kalau sebagian besar unit apartemen di sini masih punya keluarga aku?“
Nara kembali mendengkus. Sedangkan Martin tampak tersenyum. Karena ia telah berhasil membuat gadis itu mati kutu.
“Mama bilang terserah kamu bisanya kapan, tapi kalau menurut aku mending weekend, atau besok aja sekalian, pas pulang kerja. Nanti aku jemput lagi, kayak tadi,” kata Martin sembari memainkan alisnya di kalimat terakhir.
Nara lantas melipat tangan di depan dada. Tampak masih bersikeras untuk menolak. Tetap kekeh pada pendiriannya. “Aku enggak mau.”
“Ya udah, kalau gitu kita enggak usah turun.” Martin mulai mengatur sandaran jok mobilnya agar sedikit lebih rendah, sehingga ia pun bisa bersandar dengan jauh lebih nyaman.
Nara sontak terhenyak. Menatap Martin dengan pandangan tak percaya. Sementara pria itu tampak melipat tangan di dada, mulai memejamkan mata.
“Memang dasar bajingan,” umpat Nara yang terdengar sangat gregetan. Ia lantas mencoba untuk menjulurkan sebelah telapak tangannya, supaya kunci mobil itu bisa segera terbuka, tapi Martin sudah lebih dulu menghalangi niatnya itu dengan sangat mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinara
Roman d'amourSemua berawal dari busana biru pastel, ciuman terdesak, serta aksi yang dipergoki oleh ibunya, hingga membuat Nara harus terjebak bersama pria berengsek seperti Martin dalam kurun waktu yang lama. Entah sampai kapan, tapi mampukah Nara mengatasi ini...