PART 42

10.1K 714 35
                                    

PART 42

Pagi itu Nara benar-benar terbangun untuk menikmati sunrise dari jendela balkon kamar hotelnya. Ia bahkan sudah membuka gorden lebar-lebar sembari mengambil ponselnya dari dalam tas, lalu mulai menyalakan benda itu agar bisa mengabadikan momen indah yang sebentar lagi akan tersuguh di depan mata.

Namun, banyaknya panggilan tak terjawab serta notifikasi chat dari orang-orang langsung menyadarkannya atas kesalahan yang telah diperbuat oleh dirinya.

“Ya ampun! Aku baru inget kalau enggak ngasih kabar ke siapa pun.”

Nara yang tadinya sudah berbaring santai menghadap jendela balkon, sontak terduduk. Membaca serentetan pesan dari ibunya yang menunjukkan kekhawatiran sekaligus kemarahan terhadap dirinya.

Dek, kmu kmna?

Knp nmrnya blm aktif sih?

Kmu baik2 aja kan?
Mami sma Papi khawatir
Papi ikut nyariin kmu bareng mas dafka

Nara, gak lucu ya!
Kmu udh bikin khawatir smua org

Mami Papi gk bisa tidur

Sayang, kmu dmana nak?
Smoga kmu baik2 aja, Mami bakal sedih bgt klau kmu knp2

Dan lain sebagainya. Bahkan kakak-kakaknya pun ikut meninggalkan beberapa pesan yang nyaris serupa. Begitu pula dengan ibu mertuanya serta Ciara. Terlebih lagi Martin. Pria itu paling banyak melakukan panggilan, serta mengirimkan chat walaupun WhatsApp-nya juga sedang tidak aktif.

Namun, Nara memutuskan untuk menghubungi ibunya saja. Hingga tak butuh waktu lama, panggilan telepon itu pun segera tersambung kepada ibunya.

“Sayang... kamu ke mana aja, Nak?“

Suara ibunya itu terdengar sangat lega dan sedikit bergetar di seberang telepon sana. Membuat Nara jadi semakin merasa bersalah.

”Aku ... di hotel, Mi,” sahut Nara dengan suara pelan.

“Di hotel?!”

“Iya, Mi. Aku nginep di hotelnya Martin.”

“Ya Allah, Dek ....”

Nara hanya menunduk, sebelah tangannya bergerak mencubiti permukaan selimut.

“Tapi, kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanya Sarah yang ingin memastikan.

“Iya, Mi. Aku baik-baik aja kok.” Kemudian Nara mengangkat pandangan matanya, dan menemukan keindahan dari mentari yang mulai menunjukkan eksistensinya. Ia mengerjap. Tidak terlalu fokus lagi pada ucapan ibunya dari arah seberang telepon sana. Bahkan tanpa sadar sudah menjauhkan benda pipih itu dari samping telinga. Karena cahaya keemasan yang terlihat dari tempatnya berada sekarang seolah tengah menghipnotis dirinya. Bibirnya melengkung begitu saja, dan ia menunduk, mengusap perutnya yang sesungguhnya sudah memiliki sedikit tonjolan. Tidak sedatar dulu saat awal-awal menikah.

Nara lantas mendekatkan ponselnya tadi ke sebelah pipinya. Ia berbicara tepat di depan benda pipih itu tanpa menghiraukan ucapan ibunya. “Udah dulu ya, Mi? Aku pengen lihat sunrise, pengen foto-foto juga. Nanti aku hubungi lagi kalau udah selesai.”

“Tapi, Sayang—”

“Bye, Mami!“

Nara langsung memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak. Kemudian beralih membuka fitur kamera, memotret sinar mentari pagi yang sangat ditunggu-tunggu oleh dirinya. Bahkan sempat membuat beberapa video pendek untuk mengabadikan momen itu, dan tak lupa menunjukkan bareface-nya di dalam video. Lalu cekikikan sendiri saat melihat hasil videonya sekaligus kondisi wajahnya yang tidak terpoles make-up.

DinaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang