PART 02

25.6K 1.2K 19
                                    

PART 02

Jumat malam. Hari terakhir bekerja sebelum menyambut weekend dua harian yang nantinya akan kembali lagi ke setelan awal begitu hari senin telah tiba. Kebanyakan pegawai Adikara Group pasti akan melipir dulu ke sebuah club malam yang terletak tak terlalu jauh dari tempat itu. Sedangkan beberapa yang lain, sudah membuat agenda mereka sendiri. Seperti makan, menonton bioskop, ataupun berjalan-jalan, cuci mata di mall.

Namun, berbeda dengan Nara. Biasanya ia hanya akan segera pulang ke apartemen, lalu menghabiskan waktu sedikit lebih lama untuk berendam. Merilekskan tubuhnya. Tetapi, khusus malam ini pengecualian. Karena ia akan pulang ke rumah orang tuanya, lantaran sudah ditelepon oleh sang ibu sejak tadi siang.

Sesungguhnya Nara bukanlah jenis orang yang malas saat disuruh pulang ke rumah. Karena sejak ia kecil, rumah itu adalah tempat ternyaman bagi dirinya. Tetapi, kenyamanan itu berubah semenjak orang tuanya—terkhususnya sang Ibu—mengetahui kalau ia berpacaran dengan Ben.

Itu terjadi sekitar beberapa tahun yang lalu, tepatnya saat Nara masih berumur 22 tahun. Sementara hubungannya dan Ben sudah berlangsung sejak 7 bulanan sebelum itu.

Namun, begitu orang tuanya tahu, kedua orang itu sama sekali tidak memberinya restu. Mereka tidak setuju. Tidak menyukai Ben, karena Ben adalah anak dari rival sang ayah di masa lalu.

Ayahnya takut kalau Ben akan menyakiti dirinya, dan Beliau tidak ingin mengambil risiko dengan membiarkan hubungan mereka. Sedangkan ibunya jauh lebih vocal lagi dalam hal menolak. Katanya, feeeling-nya sebagai seorang ibu mengatakan kalau Ben bukanlah pria yang baik. Ben adalah pria yang berengsek. Dan setiap kali melihat sosok Ben, raut wajah tak suka di wajah ibunya itu jadi tidak pernah absen. Padahal ibunya itu tidak mengenal Ben sama sekali. Dia hanya mengandalkan sebuah feeling. Meski kenyataannya, feeling-nya sebagai seorang ibu pernah salah. Karena ibunya itu pernah menjodohnya salah satu kakak perempuannya yang bernama Winona, dan feeling-nya beranggapan kalau pria yang dijodohkan dengan kakaknya itu adalah seorang pria baik-baik, hingga akhirnya sang kakak pun harus menelan pil pahit. Ternyata masa lalu pria itu kurang baik.

Begitu sampai di rumah, Nara pun langsung disambut oleh langkah-langkah mungil dari beberapa keponakannya. Karena keempat kakaknya memang sudah menikah dan memiliki anak semua. Tinggal dirinya saja yang tersisa. Belum menikah dan belum memiliki seorang anak. Jangankan untuk menikah, pasangan pun ia masih belum punya. Dan karena hal itu jugalah ia jadi cukup sering disinggung oleh beberapa orang, tentang kapan ia akan menyusul kakak-kakaknya dan ikut memberikan cucu untuk kedua orang tuanya.

“Titi, Titi, lihattt. Vira dapet seratus pas ulangan tadi.”

Salah seorang keponakannya tampak memamerkan sebuah kertas yang sudah dicoret menggunakan tinta merah dan mendapatkan nilai seratus seperti yang baru saja anak itu ucapkan kepada dirinya.

Nara tersenyum dan meraih kertas itu. Ternyata itu adalah ulangan harian dan hanya berupa dikte. Karena tidak ada soalnya sama sekali. Ia lantas memberikan pujian. “Hebat, Mbak Vira,” katanya sembari mengusap puncak kepala sang keponakan.

Anak itu nyengir sebelum kembali pamer, kalau tadi siang ia diperbolehkan sang ibu untuk memakan es krim serta mendapatkan boneka baru dari sang ayah begitu ia dijemput dari sekolah. Bahkan oma-nya pun langsung mengajaknya untuk membeli cake saat ia datang ke sini tadi sore.

Perkataan anak itu seolah memberi isyarat, kalau dia juga ingin diberi hadiah oleh aunty-nya.

“Ooh gitu... ya udah, nanti Aunty juga bakal kasih kamu sesuatu, tapi nanti. Jangan ditagih dulu,” ucap Nara sambil tersenyum.

“Terus ini Anti enggak bawa apa-apa?“ tanya salah seorang keponakannya yang berjenis kelamin laki-laki. Membuat Nara menggeleng. Karena ia tadi memang tidak sempat mampir.

DinaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang