PART 15
Nara masih tidak mengerti kenapa ia mau-mau saja saat dicium oleh Martin. Tanpa permisi, dan sudah dua kali. Ia merasa kalau dirinya baru saja terkena hipnotis. Padahal, kalau itu adalah orang lain, Nara yakin kalau ia—minimal—sudah menampar orang itu sejak kemarin. Lalu memukulnya serta memaki. Apa karena ini Martin, makanya ia sama sekali tidak melakukan hal itu?
Jujur, Nara bingung. Ia lantas menggaruk kepala, dan segera keluar dari kamar sembari mengucek rambutnya menggunakan selembar handuk di tangan. Karena ia memang nyaris tidak pernah menggunakan hair dryer jika sedang tidak berpergian. Sama seperti sekarang.
Ngomong-ngomong, saat ini perutnya sudah kenyang, tapi sosok Martin yang tadi sempat menumpang makan, tampak masih duduk santai di atas sofa bed ruang tengah apartemennya. Entah kapan pria itu akan pulang, tapi Nara tidak akan pernah bosan untuk terus mengusirnya.
“Heh! Pulang sana,“ suruhnya dari ambang pintu kamar yang baru saja ia buka.
Martin menoleh, lalu menatap jam di tangan kirinya sebelum berujar dengan nada santai. “Baru juga jam sembilan. Tunggu satu jam-an lagi, baru aku pulang.”
“Mau ngapain lagi sih?” tanya Nara dengan nada gerah. “Mending pulang sekarang. Orang mau istirahat, bukannya tahu diri, malah ngelunjak.”
Martin hanya terkekeh samar. Kemudian menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. “Sini. Duduk. Kita pacaran dulu.“
Nara bergidik ngeri sembari menyampirkan handuknya ke atas bahu. “Ogah.“
Ia memilih untuk berjalan ke dapur, sama sekali tidak tertarik untuk ikut bergabung bersama Martin di atas sofa satu itu. Karena tempatnya sangat empuk dan nyaman. Terlalu pewe untuk mereka berdua. Lengah sedikit, bisa-bisa ia sudah di-unboxing oleh Martin di sana.
Nara kembali bergidik. Jangan sampai ia sejauh itu dengan Martin. Bisa tambah panjang urusannya nanti.
Ia lantas mengambil gelas jar dan mulai mengisinya dengan oatmeal. Karena ia ingin membuat overnight oatmeal untuk sarapannya besok pagi. Sementara Martin yang mengikuti Nara, tampak langsung mengernyit.
“Kamu mau makan lagi?”
Nara yang baru akan menuang susu, hanya menoleh sebentar, lalu menjawab, “Enggak. Ini buat besok pagi.”
“Terus kenapa udah diseduh malem ini?”
Nara berdecak. Martin ini banyak tanya sekali. “Ini namanya overnight oatmeal, nanti dimasukin ke kulkas, terus makannya besok pagi,” jelasnya pada Martin.
“Kamu kalau enggak tahu, mending gak usah nanya-nanya deh,” sambungnya dengan jutek.
“Justru karena aku enggak tahu, makanya nanya. Kalau udah tahu, ngapain nanya-nanya?”
Nara mendengkus samar. “Aku enggak suka ditanya-tanya sama kamu. Mending kamu pulang sana,” usirnya.
“Kenapa sih nyuruh pulang mulu?” tanya Martin yang mulai merasa gerah.
Nara tampak menoleh tak percaya. “Masih nanya?”
“Ini udah malem, Martin. Kamu mau nginep memangnya?“ tanya Nara dengan nada kesal, tapi gadis itu langsung menyesali pertanyaannya barusan ketika Martin terlihat bersemangat untuk membalas.
“Boleh?! Ya udah, aku nginep sini aja.“
“Udah gila,” komentar gadis itu sembari memutar bola mata. “Pulang sekarang, atau aku aduin ke Mami karena kamu enggak mau pulang?”
“Aduin aja. Malah bagus gak sih?” Martin tampak terkekeh geli. “Nanti kita bakal langsung dinikahin.”
Nara langsung menggeram frustrasi. Entah harus dengan cara apa lagi ia mengusir Martin, supaya pria itu bisa segera enyah dari apartemennya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinara
RomanceSemua berawal dari busana biru pastel, ciuman terdesak, serta aksi yang dipergoki oleh ibunya, hingga membuat Nara harus terjebak bersama pria berengsek seperti Martin dalam kurun waktu yang lama. Entah sampai kapan, tapi mampukah Nara mengatasi ini...