Stasiun Tawang cukup ramai pagi ini, mungkin karena ini hari Jumat dan senin depan adalah hari libur nasional. Jadi semua orang ingin berlibur atau sekedar pulang ke kampung halaman mereka.
"Kamu nanti jangan lupa telfon Mas Sekha ya, Ndhis," ucap Bunda yang baru menutup pintu penumpang depan, "jangan lupa sholat, awas aja kalau kebablasan main terus lupa ibadahnya," ingatnya.
Gendhis menerima uluran tangan ibunya, mengecup punggung tangan perempuan akhir lima puluh tahun itu, "iya, Bunda," balas Gendhis sekenanya.
"Hati-hati ya, Nduk," kali ini Ayah memilih memeluk anaknya dengan lembut, "jangan ceroboh loh," lanjutnya mengecup puncak kepala Gendhis.
Yang diberi wejangan mengangguk patuh, "siap bos," ucapnya dengan gestur memberi hormat, "tenang Ayah, udah sering kelayapan kan anaknya," lanjutnya meyakinkan.
Kedua orang tuanya hanya mampu tersenyum, dengan Bunda yang menyipit mendengar kalimat putri bungsunya.
Gendhis memang cukup sering pergi sendirian. Ketika libur semester, Gendhis beberapa kali pergi sendiri ke Jogja, Bandung, maupun Lombok. Dan tahun lalu, perempuan itu baru saja melakukan East Asia's tripnya.
Ayah menepuk puncak kepala Gendhis pelan, "ya jaga-jaga, Ndhis, nasib orang kan nggak ada yang tau," ucapnya dengan senyuman lebar.
Gendhis mengangguk, paham dengan rasa khawatir Ayah dan Bundanya, "tenang, nanti Gendhis bawain oleh-oleh," dengan tawa kalimat itu terucap membuat Bunda mendengus, "dih, kok marah."
Mike mengulurkan tangannya, membawa tangannya guna menjewer telinga kiri Gendhis, "you better bring our son in lawasap," gumamnya gemas. "Biar travellingnya ada partner," lanjutnya.
Gendhis hanya bisa memutar matanya, sedikit malas dengan pembahasan yang satu ini. Jodoh.
Percayalah, Gendhis juga ingin menikah. Tapi, gimana mau nikah kalo ia saja masih belum bertemu laki-laki yang dirinya yakini akan menjabat tangan Ayah dengan erat di mimbar akad nikah. Singkatnya, Gendhis masih jomblo.
Setelah perpisahan singkat dan wejangan Bunda seperti biasanya, Gendhis segera menarik koper hitam kecil miliknya, tak lupa menyerahkan boarding pass yang baru saja dirinya cetak pada petugas.
Sebuah kereta baru saja sampai, bersamaan dengan dirinya yang memasuki peron. Kereta Banyubiru yang akan mengangkut dirinya pagi ini.
Entah kebetulan macam mana yang sedang Gendhis alami, ketika gerbong eksekutif tiga berhenti tepat di hadapannya berdiri. Membuatnya tak perlu berjalan jauh menggeret kopernya.
Membawa kopernya masuk, Gendhis segera mengangkat dan menempatkannya di bagian kabin atas. Hanya berisi beberapa baju, Gendhis bersyukur jiwa travellernya berkembang pesat dengan berhasil meminimalisir barang bawaan.
Sengaja memilih kursi yang berada di samping jendela, Gendhis segera mengeluarkan MacBook Pro yang dibawanya. Kapan lagi dirinya bisa work with the view sperti ini?
Sekitar pukul tujuh lebih lima puluh, ketika suara klakson rangkaian besi itu dibunyikan dengan keras diiringi oleh bel yang selalu Gendhis suka, angkaian Banyubiru mulai berjalan, menjauh dari area peron Stasiun Tawang.
Perjalanan dua jam lebih yang Gendhis pastikan akan menyenangkan, perjalanan pertamanya di tahun ini.
🌿
"Pakdhe Mun, lihat Ibu dimana?"
Pertanyaan itu berhasil membuat laki-laki berusia lebih dari enam puluh tahun dengan serbet dibahu itu menghentikan langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
RomanceBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...