"Dunia sempit banget ya ternyata."
Gendhis masih tidak menyangka, bahkan hingga detik dimana dirinya duduk di salah satu sofa yang ada di ruang keluarga itu.
Alicia-si Nyonya rumah-masih terus bergumam tidak percaya dengan apa yang baru dirinya temukan beberapa jam lalu.
Ya, setelah pertemuan tidak sengaja Riga dengan Joan tadi. Pertemuan yang berujung dengan sebuah panggilan telepon dari Alicia, akhirnya Gendhis dan Riga mengubah rencana awal mereka.
Dari sebuah temu untuk makan siang menjadi sebuah kunjungan dadakan-dan pertama-bagi Gendhis ke rumah keponakan Riga tersebut.
Gendhis memilih menatap Riga, keduanya seolah sedang bertukar pikiran lewat tatapan mata. Tentu saja, memikirkan bagaimana caranya agar Alicia berhenti membahas mereka berdua.
Senyum Riga terlihat mengembang, laki-laki itu terlihat cukup tenang dan senang, mungkin. Padahal Gendhis sudah cukup deg-degan dengan jawaban seperti apa yang harus dirinya beri pada Alicia.
Alicia menatap Gendhis kali ini. Menatap Gendhis dengan sebuah tatapan yang terlihat mengamati. "Sumpah Mas, kamu beruntung banget. Nggak boleh lepas sih," gumam Alicia dengan senyuman lebarnya.
Tak sampai disana, Alicia bahkan langsung menyenggol kaki Riga. Seolah memberi ancaman pada laki-laki itu.
"Udah dong, Sayang. Kasian itu Mbak Gendhis, bisa-bisa nggak mau lagi mampir kalau terus di berondong pertanyaan,"
Suara Rasha lebih dulu menginterupsi. Laki-laki yang baru kembali dari lantai atas itu terlihat sudah berganti dengan sebuah kaos berwarna hitam dengan celana rumahan.
Riga terlihat mengangguk setuju. "Heboh banget memang Nyonya Rasha ini," cicit Riga sebelum mengambil dua cangkir yang ada di meja.
Laki-laki itu menyerahkan satu cangkir dengan cairan yang lebih terang kepada Gendhis. Tak lupa tersenyum dan mengucapkan 'hati-hati' kepada perempuan dengan kedua pipi memerah itu.
"Jangan dong, Mbak Gendhis tenang aja. Heboh-heboh gini aku paling mantap kalau masalah jaga rahasia. Kalau perlu kalian pacaran di rumahku juga nggak apa," sahut Alicia dengan cepat.
Mendengar sahutan itu, Gendhis langsung tertawa. Alicia memang tiada duanya. Bahkan sejak pertama dirinya keluar dari mobil Riga, perempuan itu langsung menyambutnya dengan ramah.
Perempuan itu menggeleng dengan ucapan Alicia. "Aduh gimana ya jawabnya ini," lirih Gendhis dengan nada kebingungan yang dibuat-buat. "Jauh banget masa harus ke Surabaya dulu," lanjutnya terlihat berpikir keras.
Kali ini, ucapan Gendhis disambut dengan sorakan setuju dari Riga. Laki-laki itu bahkan tersenyum jahil menatap Alicia.
"Asal tiketnya masuk reimbursement Alicia ambil aja sih, Mbak," sahutan Riga masih dengan senyuman jahilnya. Laki-laki itu terlihat sangat senang mengusili keponakannya.
Gendhis tertawa, "ide yang bagus, Mas, alhamdulilah nemu sponsor," balas Gendhis dengan kedua sudut bibir terangkat sempurna.
Rasha yang sedari tadi diam bahkan sudah ikut tertawa. Laki-laki itu pura-pura menepuk kening, "kita harus cari sponsor juga sih ini, Yang," gumam Rasha.
Pihak yang langsung ditodong oleh tiga pihak itu hanya mampu menyengir, memamerkan deretan gigi rapinya. Terkekeh geli sepertinya tidak menyangka jika obrolan mereka bisa nyambung.
Gendhis menikmati setiap obrolan santai diantara mereka berempat, meskipun beberapa kali dirinya merasa asing ketika Alicia maupun Rasha mengungkit perkara hubungannya dan Riga.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
RomansaBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...