Mungkin jika ada satu kata yang bisa Gendhis cerna untuk situasi di meja makan sore ini, Gendhis akan langsung memilih 'kebingungan'. Ya, Gendhis jadi satu-satunya manusia yang terlihat canggung disana.
Dan lihatlah, bagaimana laki-laki di sampingnya malah terlihat santai mengobrol ngalor-ngidul bersama Ayah. Bahkan tak ada sedikitpun rasa canggung yang terlihat disana.
Satu lagi, bagaimana bisa Riga terlihat sangat menikmati obrolannya dengan Ayah yang banyak membahas tentang interior rumah? aneh.
"Kalian berdua itu lucu sih,"
Suara itu terdengar cukup lembut dari Bunda. Suara yang langsung membuat kesadaran Gendhis kembali terkumpul dan menatap lurus ibu kandungnya tersebut.
Menaikan satu alisnya, Gendhis juga masih menatap Bunda meminta penjelasan dengan kalimat yang tiba-tiba diucapkan ibunya.
Bahkan bukan hanya Gendhis yang terkejut disana. Tapi Ayah dan Riga juga ikut mengalihkan perhatian mereka pada Bunda yang duduk di seberangnya.
"Ya gimana ndak lucu, udah sering papasan di Solo. Mas sama Mbaknya udah pada saling kenal, kok bisa-bisanya ini adek-adeknya dua nggak saling kenal," jelas Bunda sebelum tersenyum tipis.
Ayah tertawa, "kalau ini namanya jodoh sih, mungkin emang jodohnya mereka berdua baru dimulai di Prambanan," sahut Ayah mengangguk-anggukan kepala. "Serius kaget, kok ternyata Riganya itu Auriga yang ini ternyata," sambung Ayah masih terlihat tidak percaya.
Bunda mengangguk, setuju dengan ucapan Ayah. "Jalani dulu pelan-pelan, nggak usah terburu-buru juga. Jalan kalian berdua masih panjang soalnya," lirih pelan Bunda menatap Riga dan Gendhis bergantian.
"Bunda..." sahut Gendhis lirih. Perempuan itu bahkan langsung membulatkan kedua matanya menatap Bunda, memberi kode agar Bunda menghentikan ucapannya.
Percayalah, Bunda dan Ayah itu jahil. Keduanya bahkan tidak sungkan-sungkan untuk menggodanya sejak kedatangan Riga tadi.
Bahkan, saat Ayah dan Bunda menemukan dirinya dan Riga duduk bersantai di halaman samping. Bukannya marah, Ayah dan Bunda malah menggodanya habis-habisan.
"Apa?" tanya Bunda dengan seringai jahilnya. "Kan Bunda cuma ngasih wejangan buat kalian berdua," imbuhnya membela diri.
Riga, lihatlah laki-laki yang sedang menaikan kedua ujung bibirnya itu. Dengan tenangnya dia malah tersenyum menghadap Gendhis dengan senyum tipisnya.
Gendhis hanya mampu mendengus, "malesin banget emang Bu Mike ini," cibirnya kehabisan kata. "Tolong Pak Wisnu, ini istrinya dikondisikan. Udah kena mental loh ini anaknya," alihnya dengan cepat menatap Ayah.
Bukannya balasan, suara tawa Ayah dan Bunda langsung terdengar. Bunda bahkan terang-terangan kembali menatapnya dengan gerlingan jahil.
"Jangan kaget ya, Riga. Gendhis emang suka salah tingkah gini anaknya," ucap Ayah pada Riga. "Tapi lucu sih, apalagi kalau pipinya merah kayak tomat," lanjut Ayah tiada habisnya.
Laki-laki di samping Gendhis kembali mengangguk. Riga bahkan langsung menatap Gendhis yang sudah melipat tangannya, "berarti memang suka merah gini ya pipinya?" tanya Riga.
Gendhis hanya mampu mendengus, rasanya seperti tiada habisnya Tuhan mengirimkan orang-orang jahil di hidupnya.
Bahkan lihatlah, sekarang bagaimana bisa Riga sesantai ini ikut menjahilinya bersama Ayah dan Bunda. Laki-laki itu bahkan juga berani menggoda Gendhis di depan orang tuanya.
"Mas, udah cukup Ayah, Bunda, sama Mas Sekha aja yang suka usilin aku. Kamu ki mbok ya jangan ikut-ikutan," decit Gendhis menyenggol lengan kiri Riga dengan sikut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
Любовные романыBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...