2. Remain The Same

41.6K 3.7K 84
                                        

Jogja sudah cukup ramai malam ini, selain ramai, jalanan juga sedikit lebih padat dari terakhir kali Gendhis ingat. Untung saja dirinya memilih berangkat lebih awal.

Perempuan itu sampai di Ramayana Ballet setelah beberapa menit menaiki taksi online dari Sheraton.

"I'm fine, Mbak Na, totally fine," balas perempuan itu pada seseorang di ujung sambungan panggilan, "aku cuma patah hati, sedikit, Mbak Na," lanjut Gendhis.

Decakan masih terdengar disana, "sedikit apanya, Ndhis? kamu tau kan acara tunangan mereka hari ini?" sahut Fiona yang membuat Gendhis menggigit bibirnya.

Berbohong pada kakak sepupunya memang bukan hal yang disarankan saat ini. Selain Sekha, Fiona adalah orang yang tidak pernah bisa Gendhis bohongi.

"Mbak, aku jahat banget ya?" kata Gendhis terdengar cukup lirih setelah beberapa detik tanpa suara darinya maupun Fiona, "aku ikut seneng, Mbak, tapi rasanya kok masih ada sakitnya," imbuhnya tak kalah pelan.

Menggeser tubuhnya sedikit ketika satu rombongan akan masuk ke area luar dekat bar, "rasanya masih aneh aja, I can't see myself in that pity side, a woman that have one side love with her best friend, aku nggak mau terlihat menyedihkan," jelasnya lebih detail.

Kembali terdengar helaan napas dari Fiona di ujung panggilan. "Aku nggak mau dan nggak akan bahas ini lagi, so, heal your feeling. Setelah pulang dari Jogja, I won't hear your sadness with that man, anymore, nggak lagi."

Gendhis bisa merasakan emosi kakak sepupunya di ujung sana, perempuan itu paham, mungkin saat ini Fiona juga sudah jengah mendengarnya yang terlalu sering terlihat menyedihkan jika membahas tentang 'mereka'.

"Tapi, Ndhis..." suara Fiona kembali terdengar, bersamaan dengan suara gamelan yang dimainkan tiga orang di seberang snack bar berlokasi, "kamu nggak boleh selalu lari dari mereka, cepat atau lambat... you need to have some courage to face them, syukur-syukur kamu bawa pasangan di nikahan mereka."

Gendhis hanya mampu mendengus sebelum ponselnya kembali menampilkan lock screen dengan gambar sebuah desain bangunan—desain yang Gendhis buat beberapa tahun lalu— kesukaannya. Fiona bahkan langsung mengakhiri panggilan, menghindari amukan Gendhis.

Berjalan ke snack bar, Gendhis akhirnya menjatuhkan pilihannya pada teh hangat, tidak perlu membeli snack, karena hal itu sudah termasuk dalam fasilitas dari tiket VIP yang dirinya pilih.

Gendhis segera memasuki area yang lebih dalam—mengekori seorang staff perempuan—melewati sebuah lorong yang sudah terjejer beberapa jenis jajanan, "Kak Gendhis, barangkali mau ambil jajanannya? akan saya tunggu sebelum antar Kak Gendhis ke seat," tawar perempuan bernama Rani—Gendhis membaca name tag yang ada di dada kanannya—dengan ramah.

Hampir saja menggelengkan kepalanya, Gendhis akhirnya memilih untuk berhenti sejenak. Dirinya hanya datang sendiri, tidak yakin jika harus meninggalkan barang bawaannya di kursi miliknya, tapi juga terlalu malas untuk membawa itu semua hanya untuk mengambil jajanan.

"Tunggu sebentar ya, Mbak Rani," balas Gendhis setelah beberapa detik mempertimbangkan pilihan. Setelah melihat Rani mengangguk, Gendhis segera mengambil sebuah piring dan mengisinya dengan beberapa jajan pasar yang disediakan disana.

Tak sampai satu menit Gendhis sudah selesai dengan kegiatannya, kembali mengikuti langkah Rani, menuju barisan yang berada di bagian paling center yang menghadap lurus ke arah panggung pertunjukan itu. "Terima kasih, Mbak Rani," ucap Gendhis sebelum Rani beranjak kembali ke arah luar.

Malam itu, semua seolah mendukung perempuan dua puluh sembilan tahun itu untuk berlari sejauh mungkin. Dengan cerahnya langit malam ini, bahkan bulan di atas sana seolah ikut menyambutnya.

The StationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang