4. A Little Space

29.8K 3K 126
                                    

Tak banyak yang Gendhis ingin lakukan hari ini. Karena semua rencana yang dirinya susun sebelum bertekad mengajukan cuti kepada Mas Feri sudah tercentang dengan sempurna. Ya, semua rencananya terjadi cukup dalam satu malam.

Pertama, mencoba menggunakan KRL Solo-Jogja untuk pertama kalinya sejak moda transportasi itu diresmikan. Kedua, me time menonton Ramayana dengan pemandangan Prambanan. Dan yang terakhir, bertahan di dalam kamar tidur selama yang dirinya bisa.

Gendhis kembali masuk ke dalam deluxe room setelah kembali dari kegiatan sarapannya di restoran yang ada di restoran hotel.

Bukannya kembali merebahkan diri ke atas tempat tidur, Gendhis malah sibuk merapikan beberapa barang yang ia bawa ke dalam tote bag yang dirinya bawa.

"Kemana ya? perasaan kemarin udah aku bawa deh," gumamnya yang sudah hampir lima menit mencari cardigan miliknya yang terkena tumpahan teh semalam.

Duduk di tepi ranjang, Gendhis masih berusaha mengingat dimana ia meletakkan paper bag cokelat milik Desi semalam.

Mas Sekha is calling...

Panggilan itu berhasil membuat Gendhis kembali beranjak, berjalan ke bed side table di sisi kiri ranjang, tempatnya meletakan ponsel pintar miliknya.

"Kamu jadi pulang ke Solo hari ini kan, Ndhis?" suara pembuka yang lebih pantas disebut teriakan itu berhasil membuat Gendhis menjauhkan ponsel dari telinga.

Mengambil napas sejenak sebelum kembali menempelkannya ke telinga, "bisa pelan nggak, Bos? ngegas banget heran," sergahnya tak terima. Tentu saja hanya suara tawa Sekha yang terdengar disana.

Laki-laki yang berbeda lima tahun dengannya itu sempat terbahak di ujung panggilan, "ups, sorry, lil sister," ucapnya terdengar sangat menyebalkan. "Serius tanya, jadi balik hari ini kan, Ndhis?" ulang Sekha yang belum mendapat jawaban.

Seolah telah terbiasa, kepala perempuan itu mengangguk—yang tentu saja Sekha tidak melihatnya—sebelum tersadar akan hal itu, "eh, iya, Mas, aku naik kereta jam tiga nanti," balas Gendhis sedikit menahan tawa karena tingkahnya sendiri.

"Nanti biar Mbak Diaz sama Zio yang jemput ya, Ndhis, soalnya Mas ada kegiatan nanti sore," sahut Sekha dengan nada sangat santai.

Gendhis hanya bisa mencebik malas mendengar sahutan Masnya, "halah, mau kemana sih heran banyak banget kegiatanmu itu loh, Mas," cibirnya yang membuat Sekha kembali tergelak di ujung panggilan.

Samar-samar, Gendhis bisa mendengar kakaknya itu bergerak, "Yang, malah diamuk aku, sini kamu aja yang bilang sama Gendhis," ucap Sekha yang Gendhis yakini sedang berbicara dengan Diaz.

"Halo, Ndhis," benar, kan? itu suara Diaz yang mengambil alih panggilan itu.

Gendis mengeratkan giginya, menahan gemas kepada kakak satu-satunya yang langsung mengadu ke istrinya, "halo, Mbak Di," sapa Gendhis ramah. "Kata Mas Sekha, nanti Mbak Di sama Zio yang jemput aku? emang mau kemana itu si Jago, Mbak?" todong Gendhis sedikit cepat.

Entah bagian mana yang lucu, tapi Gendhis bisa mendengar Diaz tertawa disana, "santai, Ndhis, Mas Sekha cuma mau tennis aja nanti sore, terus kebetulan Mbak Di mau ketemu sama temen Mbak, yaudah dipikir sekalian kan?" jelas Diaz.

Jujur Gendhis masih sangat terpesona setiap mendengar Diaz berbicara, kakak iparnya itu memiliki pembawaan yang luar biasa anggunnya, bahkan hanya mendengar suara seorang Gayatri Diaz Bhanurasmi melalui telfon saja berhasil membuat Gendhis terpesona.

"Wait, Mbak. Kalo Mas Sekha pergi tenis, Mbak Di apa nggak repot harus jemput Gendhis terus balik lagi buat ketemu sama temen?" Gendhis mencoba memecahkan skenario macam apa yang akan terjadi dengan proses penjemputan sore nanti.

The StationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang