Gendhis masih berusaha merapikan rosa midi dress dari Altuzarra yang dipilihnya. Tak lupa, kembali merapikan rambut yang hanya diikat satu.
"Ya nggak apa kalau emang Mas Riga mau, tapi apa nggak capek itu badannya?" tanya Gendhis sedikit melirik ponselnya yang tergeletak di atas meja rias. "Dieman badannya loh, Mas," lanjutnya terdengar belum puas.
Tak ada jawaban apapun dari si penelepon. Hanya suara helaan napas yang terdengar di seberang sana. "Jadi, nggak boleh?" ulangnya mencoba memastikan kembali.
Kali ini gantian Gendhis yang menghela napasnya, matanya bahkan menyipit ke arah ponselnya. "Aku nggak ngelarang, kalau memang Mas mau... do it. Selagi itu baik, nggak buat Mas Riga over tired yaudah nggak apa," elak Gendhis sebelum menyahut benda pipih itu.
Mungkin jika dekat, Gendhis langsung menatap nyalang ke arah Riga. Bagaimana bisa laki-laki itu dengan santainya berkata jika ingin mendaki gunung Rinjani setelah kunjungannya.
Benar-benar diluar kepala Gendhis, memangnya ia pikir tubuhnya terbuat dari rangkaian baja yang tidak mengenal lelah? yang benar saja.
Sudah hampir satu jam keduanya melakukan panggilan suara itu, bahkan sejak Gendhis baru memulai sesi skincarenya tadi.
"Yaudah nggak jadi kalau gitu," putus Riga dengan cepat. Ada suara tawa pelan setelahnya, "jangan marah," gumamnya disela tawa.
Kedua mata Gendhis langsung membulat, "aku nggak marah ya, aku juga nggak ngelarang," bela Gendhis pada dirinya sendiri, tak terima dengan ucapan laki-laki itu.
Tawa Riga masih terdengar, "iya, nggak marah... tapi belum marah aja aku udah takut, jadi yaudah nggak usah aja," balas Riga setelah menghentikan tawanya. "Udah jam empat, kok belum jalan sih Mbak?" sambung Riga.
Perempuan itu langsung menyalakan ponselnya, memastikan kebenaran ucapan Riga. "Masih nunggu Laras, baru keluar dia," jawabnya mulai membuka tutup botol Ex Nihilo miliknya.
"Oh iya, Mas... sepertinya besok sampai lusa aku bakal slow respon deh," ucap Gendhis setelah menyemprotkan parfum. "Mau jadi dayangnya Revi dulu," lanjutnya terkikik geli.
Bukannya berhenti, tangan perempuan itu bergerak menarik satu botol lain. Kebiasaan seorang Gendhis yang senang mencampur beberapa jenis parfum. Dan sore ini pilihannya jatuh kepada Ex Nihilo: Fleur Narcotics yang dirinya layering dengan Mon Guerlain.
"Mas, udah dulu... ini Laras udah di depan kayaknya," ucap Gendhis saat melihat sebuah panggilan masuk dari Laras.
"Baiklah, selamat bersenang-senang. Lancar-lancar on dutynya, ya..." sahut Riga dengan nada riang. "Assalamualaikum," salamnya yang langsung dibalas Gendhis sebelum mengakhiri panggilan itu.
Dengan cepat, Gendhis segera meraih lingot bag. "Tunggu sebentar, Ndoro," ucap Gendhis setelah panggilan Laras terhubung.
Tentu saja, gerakannya terlihat lebih tidak sabaran dari sebelumnya. Karena jika terlalu lama, yang ada Laras akan mengomel tidak karuan. Mengingat jika temannya itu memiliki kesabaran yang luar biasa tipisnya.
Berjalan keluar, Gendhis lebih memilih tetap mengenakan sandal jepitnya. Ditangannya sudah ada sepasang Olie 50 faux leather sandals by Aquazzura berwarna soft gold, senada dengan aksen kancing yang menghiasi dress yang dikenakannya.
Tujuannya agar cepat keluar rumah dan masuk ke dalam Audi milik Laras, daripada sepanjang perjalanan ke Padma dirinya akan mendengarkan Laras berceramah tanpa henti.
"Pasti telfonan dulu kan," sindir Laras saat Gendhis membuka pintu penumpang itu. Perempuan itu bahkan langsung memberengut melihat Gendhis yang menenteng sandal.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
RomansaBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...