Menatap pantulan tubuhnya pada cermin besar disana, senyum Gendhis mengembang sempurna melihat bagaimana balutan kebaya berwarna ivory yang sudah merangkum tubuh rampingnya.
"Nggak lagi diet kan, Ndhis?"
Pertanyaan itu keluar dari bibir perempuan yang sedang memasang beberapa pentul pada bagian lengannya. Agatha-desainer yang menjadi pilihan Gendhis-tersenyum tipis ketika melihat kepala Gendhis bergerak ke kanan dan ke kiri.
Perempuan itu kembali memasangkan beberapa pentul lain di sisi kiri, "udah pas banget ini, jangan diet lagi," ingatnya pada Gendhis pelan.
Hari ini adalah fitting terakhir sebelum acara lamarannya diadakan satu minggu mendatang. Tentu saja, Agatha tidak ingin jika harus merombak kembali kebaya yang dipenuhi payet kristal salur pada seluruh bagiannya tersebut.
"Nggak diet, Ci, kegiatanku aja yang lagi padat-padatnya jadi malah berasa lagi workout," elak Gendhis yang sudah membawa tangannya guna menyentuh bagian perut rampingnya. "Takut, ini cantik sekali," pujinya setelah melihat payet-payet yang menghiasi bagian punggungnya.
Gendhis membiarkan bagian punggung atasnya sedikit terbuka, hanya ditutupi oleh payetan daun yang memenuhi bagian punggung senada dengan payetan salur dibagian lain.
Sedikit berbeda dari beberapa model kebaya yang sering dipilih untuk prosesi lamaran. Gendhis memilih kebaya dengan panjang mencapai betis dan model semi kutubaru.
"Tapi serius, ini kain batiknya cakep banget," puji Agatha pada kain batik yang Gendhis pilih sebagai pasangan kebayanya. "Kok bisa ketemu batik secantik ini, custom kah?" lanjutnya penasaran.
Menggelengkan kepalanya, Gendhis tersenyum menyentuh kain batik yang sudah terpasang di bagian bawah tubuhnya. "Ini kain batik yang aku beli waktu pertama kali ada acara di Mangkunegaran, Ci. Ibu Mas Riga juga yang pilih ini," jawab Gendhis mengingat kenangan beberapa bulan lalu.
Ya, Gendhis memilih untuk mengenakan batik yang Ibu Martha pilihkan. Sebuah kain batik sidoasih berwarna putih yang dulu Ibu Martha pilihkan menjadi kain pertama yang Gendhis bawa ke butik milik Agatha.
"Wow, just wow," sahut cepat Agatha dengan raut tak percayanya. "I can understand why you said 'any color that suits this batik' on our first appointment," lanjutnya yang melangkah mundur.
Kepala Gendhis mengangguk pelan, "I just want to carry all the love that given to me..." lirih Gendhis.
Kedua sudut bibir Agatha tertarik ke atas, "let them know how beautiful it is," ucapnya sebelum membuka gorden tebal yang mengelilingi area fitting tersebut.
Benar saja, Gendhis bisa melihat bagaimana wajah terkejut Bunda dan Diaz yang ada disana. Keduanya bahkan terlihat berkaca-kaca menatap ke arah Gendhis yang berdiri di depan cermin besar itu.
"Cantik sekali," puji Bunda yang perlahan mendekat ke anak bungsunya. "Masih buat lamaran aja, tapi Bundanya mau nangis," lanjut Bunda perlahan menyentuh bagian lengan Gendhis disana.
Diaz juga ikut mendekat, perempuan itu tersenyum senang melihat penampilan Gendhis disana. "Mas lihat Adek, cantik sekali," ucap Diaz mengarahkan kamera ponsel pada Gendhis. Kakak iparnya itu sedang tersambung dengan panggilan video bersama Ayah dan Sekha. Tentu saja dua laki-laki itu tidak ingin melewatkan kesempatan yang satu ini.
Ini menjadi kali pertama bagi keluarga Gendhis melihat kebaya yang akan Gendhis kenakan pada acara lamaran.
"Jangan sampai Riga tau dulu sih ini, bisa-bisa malah besok udah boyong keluarga ke Semarang," celetuk Sekha yang diikuti tawa Ayah.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
RomansaBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...