24. Tip You Over

25.8K 2.9K 133
                                        

Riga sedikit terkejut melihat Ibu yang masih duduk santai dengan buku bertuliskan The Secret di halaman belakang.

"Loh, Ibu nggak jadi keluar?" heran Riga sembari mencium punggung tangan Ibu dengan lembut.

Ibu tersenyum tipis, menggelengkan kepala dengan tatapan hangatnya. "Nggak jadi, soalnya Mbak Gendhis nggak jadi ke Jakarta," balas Ibu masih dengan nada lembut.

Laki-laki yang hampir menyentuhkan punggungnya pada sandara kursi itu kembali tegak. "Nggak jadi?" beo Riga mencoba memastikan jika apa yang ia dengar tidak salah.

Mengangguk pelan, Ibu bahkan sudah kembali fokus pada buku yang masih terbuka disana. "Loh, Mas Riga malah nggak tau?" kali ini Ibu bertanya, setelah melihat respon Riga.

"Iya, baru tau malah," balas Riga menarik ponsel hitam miliknya. Mencoba mencari ruang obrolannya bersama Gendhis. Lebih tepatnya mencari tau apakah Gendhis mengabari tentang urung perginya perempuan cantik itu.

"Mbak Gendhis masuk rumah sakit setelah pulang dari Solo kemarin, itupun Mbak Sena dikasih tau Mbak Diaz,"

Dengan pelan Ibu menyampaikan informasi penting itu pada Riga, membawa kedua netranya untuk menatap wajah si bungsu yang masih terkejut disana. "Typhus," lanjut Ibu pelan.

Ada rasa terkejut yang langsung menyelimuti Riga, mencoba mencari obrolan mereka tentang kondisi perempuan dua puluh sembilan tahun itu.

Pasalnya, sejak kepulangan Gendhis dari Solo dua hari lalu mereka memang bertukar kabar seperti biasa. Tak ada yang aneh, masih seperti biasa. Hanya saja, karena kesibukan Riga membuat mereka tidak saling menelpon satu sama lain.

Itupun karena memang Riga memberitahu Gendhis jadwalnya, sebuah hal membuat Riga merutuki diri sendiri dengan ketidaktahuannya tentang kondisi Gendhis.

Ibu tersenyum tipis melihat respon Riga, sedikit lucu melihat wajah panik anak laki-lakinya itu. Bahkan meskipun Riga tetap duduk disana, hanya dengan melihat gerakan Riga yang mengetikkan sesuatu pada ponselnya Ibu langsung tau bagaimana posisi Gendhis untuk anak laki-lakinya itu.

"She said sorry, katanya nggak mau buat Mas Riga khawatir disaat lagi padat kegiatan," ucap Ibu menepuk lutut Riga pelan. "Now, you get an emerald not only diamond, Mas," sambung Ibu tersenyum lebar.

Laki-laki itu membalas tatapan Ibu dengan sedikit rasa terkejut. Pertama, tentang kondisi Gendhis yang dirinya sama sekali tidak tahu. Kedua, karena ucapan tiba-tiba Ibu barusan.

"Iya, Mbak Gendhis bilang nggak mau buat Mas Riga kepikiran. Biar Mas Riga fokus sama kegiatan sekarang karena pasti Mas Riga juga harus menyesuaikan rutinitas," masih dengan tatapan lembut dan senyum tipis Ibu menatap Riga cukup lekat. "How lucky you are, karena dasarnya bukan tentang Mbak Gendhis yang tidak melibatkan Mas Riga untuk saat ini. Tapi, tentang bagaimana Mbak Gendhis memikirkan kondisi Mas Riga sebelum dirinya sendiri," lanjut Ibu.

Riga paham apa yang Ibu maksud, bahkan rasa bersalah dan kagetnya yang sebelumnya menyelimuti seolah memudar perlahan.

Tidak munafik, beberapa menit lalu Riga menyesalkan bagaimana Gendhis seolah menutupi keadaannya. Tapi setelah mendengar ucapan Ibu, membuat Riga saar dengan keputusan Gendhis. Dan Riga menerimanya.

Ibu beranjak, membawa buku yang sedari tadi dipegangnya. "Ditelfon aja, pasti dia juga pengen disamperin sebenernya... tapi dengan Mas Riga tanya kondisinya untuk saat ini pasti juga seneng Mbak Gendhisnya," ucap Ibu terlihat pura-pura meregangkan otot. "Nggak ada perempuan sakit yang nggak mau disamperin laki-laki yang melamarnya, Mas," tambah Ibu.

"Bu.."

Panggil Riga setelah diamnya laki-laki itu.

Ibu menaikan satu alisnya, meminta Riga untuk melanjutkan kalimatnya.

The StationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang