16. One To Hold

5.9K 793 22
                                    

"Kamu nggak lupa ngasih tau Gendhis kan, Ga?"

Dengan cepat Riga mengangguk, masih fokus dengan buku yang sedang dirinya baca.

Pagi ini, Riga segaja berlama-lama di selasar dekat dapur setelah sarapan. Laki-laki bahkan sengaja membawa buku serta beberapa dokumen—yang harus dirinya periksa—serta tab miliknya saat keluar kamar.

Laki-laki itu masih fokus dengan bacaan miliknya, "sudah, semalam aku langsung kasih tau," jelas Riga meyakinkan kakak perempuannya yang sudah menempatkan diri pada sisi kosong kursi panjang itu.

Riga bisa melihat kepala Sena mengangguk dari ekor mata, perempuan berambut terjepit itu terlihat cukup puas dengan penjelasan si adik.

"Ibu, yang paling excited buat undang Gendhis," suara Sena terdengar cukup lirih, bahkan lebih lirih kali ini.

Kalimat yang membuat Riga langsung menutup bukunya, laki-laki itu bahkan langsung membawa kepalanya menghadap ke Sena.

Terdengar suara helaan napas dari si ibu hamil, "andai kamu tau gimana senengnya Ibu waktu aku cerita tentang Gendhis, kamu belum cerita apapun ke Ibu?" lanjut Sena masih dengan volume yang lirih.

Kepala Riga menggeleng pelan, "belum, aku takut kalau terlalu cepat dan malah buat Ibu maupun Gendhis nggak nyaman, Mbak," jawabnya mencoba menjelaskan.

Sena menaikan satu alisnya, perempuan itu seolah mencoba mencerna ucapan Riga. "Nggak nyaman?" beo Sena meminta penjelasan.

Menarik napas lebih panjang, Riga memilih menyandarkan punggung pada leher kursi. "Belum ada ikatan apapun diantara aku sama Gendhis, Mbak," suara pelan Riga.

"Gendhis sempurna, Mbak. Tapi aku sendiri takut kalau Gendhis menjauh karena terlalu cepat," lanjut Riga dengan tatapan lurus ke arah taman di hadapannya.

Suara helaan napas kembali terdengar dari Sena, kali ini terdengar lebih panjang dari sebelumnya. Suasana dimana Riga sangat yakin jika kakak satu-satunya itu sedang berusaha untuk menahan emosinya.

Riga kembali membawa netranya guna menatap Sena, mulai sadar dengan apa yang dirinya katakan beberapa detik lalu.

Sena menaikan satu sudut bibir, "kamu nggak yakin, Gusti?" tanya Sena mengkonfrontasi si adik.

Dengan cepat, Riga menggeleng. "Aku yakin sama Gendhis, aku cuma berusaha buat Gendhis tetap nyaman sama proses yang kami berdua jalani, Mbak," sahutnya menjawab dengan cepat.

Kepala Sena mengangguk, terlihat cukup puas dengan jawaban Riga. Bahkan dengan senyum tipis yang tersinggung pada bibirnya.

Gerakan bibir Sena terhenti ketika seorang abdi dalem datang membawa dua cangkir teh. Tadi sebelum menyusul Riga, Sena sengaja meminta teh untuk mereka berdua.

"Matur suwun, Pak Dhe," ucap Sena yang diikuti dengan Riga.

Setelah memastikan abdi dalem tersebut sudah benar-benar menjauh, Sena kembali membawa netranya membalas tatapan Riga.

"Aku sama Mas Suja memang butuh tiga tahun sebelum akhirnya pacaran. Tapi, Sekha sama Diaz cuma butuh satu bulan untuk akhirnya pacaran. Nggak ada bedanya, kan? tergantung seberapa serius dan yakinnya diri sendiri, bukan seberapa lama kalian saling kenal."

Dengan lembut Sena menjelaskan hal itu pada Riga. Sebelum menyesap teh hangat dari cangkir miliknya.

Riga masih menatap kakak perempuannya lekat, laki-laki itu terlihat cukup paham dengan maksud ucapan Sena. Paham benar dengan tujuan Sena mengucapkan hal tersebut.

Sena berdeham pelan. "Sebagai Mbak Sena aku nggak masalah kalau kamu masih butuh waktu sendiri, Ga. Tapi, sebagai seorang Gusti Sena aku nggak akan membiarkan kamu terus sendirian. Kamu harus melanjutkan apa yang ada sekarang," masih dengan volume pelan. Kali ini suara Sena terdengar lebih tegas dari sebelumnya.

The StationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang