Penampakan lima mobil terparkir rapi di garasi menjadi pemandangan pertama yang Gendhis temui ketika pagar besar itu terbuka.
Senyum perempuan dua puluh sembilan tahun itu semakin mengembang begitu sadar jika satu diantara mobil itu adalah milik Sekha.
"Makasih, Pak Wid," ucap Gendhis sebelum menutup pintu bagasi mobil milik Ayah.
Tadi, Pak Widodo-sopir Bunda-yang menjemput dirinya di Tawang. Alasannya, karena Ayah sedang ada conference dan Bunda yang sedang sibuk menyiapkan keperluan acara malam nanti.
Padahal cuma seminggu dirinya pergi, tapi sepertinya kerinduannya pada rumah modern tropis itu sangat besar. Atau mungkin dirinya rindu dengan kamar miliknya? entahlah.
Mata Gendhis menyipit dengan senyum lebar, tangannya bahkan terbuka lebar melihat seseorang yang sangat dirinya rindukan berlari dari dalam rumah.
"Tate!"
Suara teriakan Zio terdengar cukup keras, anak laki-laki itu bahkan terlihat sangat senang dengan tawa yang cukup menyenangkan.
Arzio langsung menubruk tubuh Gendhis. "Mas Io, kangen sekali," ucap Zio yang memeluk tubuh tantenya. Anak itu bahkan langsung mendaratkan ciuman di pipi Gendhis tanpa diminta oleh empunya.
"Senangnya langsung disambut sama Mas Zio," goda Gendhis dengan nada tak kalah riang dari keponakannya. Perempuan itu bahkan memeluk tubuh gempal Zio cukup erat.
Zio lebih dulu melepaskan pelukan mereka, "ayo masuk, Tate, Uti sama Mama tunggu di dalam," lirih Zio dengan wajah sedikit mendongak menatap Gendhis yang sudah kembali berdiri.
Dengan anggukan riang Gendhis tersenyum, mengulurkan tangan guna menggandeng milik Zio. "Ayo," ajak Gendhis.
"Ini biar Mas Io yang dorong, Tate capek iya kan?"
Kali ini, izinkan Gendhis untuk melebur karena tingkah manis si anak laki-laki itu.
Zio bahkan langsung mengambil alih koper biru miliknya, mendorong benda kotak itu perlahan tanpa harus Gendhis setujui.
Dalam hati Gendhis, lagi dan lagi memuji kedua orang tua si anak laki-laki. Dirinya rasanya harus belajar banyak dengan Mas dan Mbak Iparnya tentang cara mereka mendidik Arzio.
Berjalan perlahan, Gendhis mengikuti langkah Zio masuk ke dalam rumah bergaya tropis milik orang tuanya.
Jangan bayangkan sebuah rumah dengan pilar-pilar besar nan menjulang tinggi disana. Karena tak ada pilar besar bergaya Amerika ataupun khas rumah klasik disana.
Rumah ini benar-benar rumah modern dengan desain khusus dari Ayah untuk Bunda. Karena, banyaknya peraturan yang Bunda beri untuk model rumah tinggal mereka.
Menggambarkan sebuah rumah tropis dengan banyaknya tanaman hijau yang ada di rumah itu. Bahkan, tembok besar yang mengelilingi rumah juga diberi tanaman hijau yang menjuntai sebagai hiasan.
Masih sangat jelas bagaimana Bunda yang kekeuh meminta Ayah membuat rumah dengan satu lantai saja. Ya, Bunda tidak ingin ada dua, tiga, atau empat lantai untuk rumah tinggal itu.
Rumah itu tentang keluarga, gimana caranya biar satu keluarga bisa bertemu. Kalau terlalu banyak lantai, pasti ada saja alasan untuk berkumpul. Dan satu lagi, Bunda nggak mau kalau harus teriak hanya untuk meminta anak-anak turun untuk sekedar makan.
Itu alasan Bunda dulu, awalnya Gendhis bingung dengan maksud ibunya. Saat itu, yang Gendhis pikir karena Ayah adalah seorang arsitek, setidaknya rumah Ayah akan lebih futuristik seperti proyek-proyek yang biasa Ayah garap. Setidaknya, itu yang Gendhis temui ketika berkunjung ke rumah kolega dan teman seprofesi Ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
RomansaBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...