15. Share Of Sighs

28.5K 2.9K 59
                                        

"Sini biar Gendhis aja yang bawa ke depan, Budhe,"

Perempuan dengan rambut diikat satu itu langsung menghentikan gerakan Budhe Yum. Membuat si asisten rumah kembali meletakkan mangkok keramik besar di atas meja.

Budhe Yum tersenyum, "ini berat loh, Mbak," lirih Budhe Yum melirik ke arah mangkok berisi salad buah yang baru dikeluarkan dari kulkas.

Gendhis langsung mengangguk, perempuan itu tersenyum tipis. "Nggak lebih berat dari satu sak semen, Budhe," balasnya dengan guyonan singkat.

Perempuan dua puluh sembilan tahun itu langsung mengangkat mangkok besar itu. Mengusung untuk membawa kudapan yang sudah dibuat menuju halaman belakang.

Suasana rumah menjadi jauh lebih ramai dibanding beberapa menit lalu. Hampir semua anggot keluarga sibuk berbincang satu sama lain di atas karpet yang tergelar disana.

Acara pengajian sudah selesai sejak beberapa menit lalu, berganti dengan acara ramah-tamah yang dibarengi dengan makan bersama.

Kedua sudut bibir Gendhis kembali terangkat saat tatapan matanya bertemu dengan milik Diaz yang sedang mengambil beberapa makanan. "Gendhis sekalian, Mbak Di," pinta Gendhis pada kakak iparnya.

Sebenarnya sebelum dirinya masuk ke dalam rumah tadi, Diaz memang sudah menawarkan untuk mengambil beberapa hidangan untuk Gendhis. Tentu saja, langsung di-iyakan oleh si bungsu dengan senang hati.

"Kamu nggak berminat ngenalin Mas-mu itu kah, Ndhis?"

Suara perempuan dari belakang tubuh Gendhis berhasil membuatnya terjingkat, untung saja mangkok besar yang dibawanya sudah lebih dulu menyentuh permukaan meja.

Gendhis mendesis pelan, sedikit kesal dengan kakak sepupunya yang sudah menyandarkan pinggang pada meja. "Kayak kuntilanak, tiba-tiba bersuara," geram Gendhis.

Tawa perempuan seumuran Sekha itu langsung terdengar, "enak aja, cantik gini disamain sama Mbak Kun," elak Fiona tak terima.

Mendengar elakan Fiona berhasil membuat Gendhis langsung berdecak. "Iya, kamu sama Mbak Kun di rumahmu kan sama," potong Gendhis tak mau kalah.

"Jangan mulai, ya. Suamiku masih business trip  di Vietnam, nggak usah nakutin kalau nggak mau nemenin," amuk Fiona tak terima.

Amukan Fiona membuat Gendhis tertawa pelan. Cukup puas menggoda kakak sepupunya itu, "makanya anteng aja tuh mulutnya, Mbak," bisik Gendhis. "Inget itu manusia di perut, ati-ati," sambung Gendhis melirik perut buncit Fiona yang mulai menyumbul.

Kalimat terakhir Gendhis langsung membuat Fiona menyentuh Farm Rio's tropical lightness maxi dress yang membalut tubuhnya. "Ih kamu belum ngerasain dia gerak, ya," pamer Fiona dengan senyum lebar.

Satu alis Gendhis terangkat, "emangnya udah bisa ribut dia?" heran Gendhis tak percaya. "Berapa minggu sih? kok tiba-tiba udah gede aja," sambungnya dengan tangan kanan yang langsung menyentuh perut yang tertutup kain bunga-bunga itu.

Dengan cepat Fiona memukul lengan Gendhis. "Nggak atau aja, dia udah pinter atraksi disini," amuknya menunjuk perut buncit itu. "Udah hampir enam bulan ini, makanya sering main ke rumahku," imbuhnya dengan nada kesal dibuat-buat.

Gendhis langsung memamerkan deretan giginya, "iya, nanti sering-sering main deh," aku Gendhis mencoba menghentikan perdebatan mereka.

Fiona lebih dulu memberikan kode pada Gendhis untuk kembali berkumpul dengan yang lainnya.

Beberapa anggota keluarga terlihat sudah memulai sesi karaoke. Ayah, dengan sengaja menyediakan speaker serta microphone, bahkan sebuah proyektor di halaman yang sudah di dekor itu.

The StationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang