19. Hold Your Breath

5.8K 812 102
                                    

"Mbak Gendhis kenalin ini Eyang Arum, Eyang Putriku sekaligus Budhenya Gusti Riga," ucap Alicia dengan riang pada Gendhis.

Dengan cepat Gendhis menyalami seorang perempuan yang berumur tujuh puluh tahunan tersebut. Seseorang yang lagi-lagi membuat Gendhis terpesona dengan aura yang dimiliki beliau.

"Ini Gendhis ipar Diaz ya?" alih Arum pada Diaz yang berdiri di samping Gendhis.

Kepala Diaz mengangguk, "iya, Gendhis adiknya Diaz yang berhasil buat Budhe Arum penasaran 'kan?" balas Diaz dengan candaannya.

Siapa sangka, perempuan yang dipanggil Diaz dengan Budhe Arum itu mengangguk. "Iya, soalnya Budhe kenalnya Mbak Gendhis ini kan yang lagi sama Gusti Riga," sahut Budhe Arum dengan tawa pelan.

Gendhis hanya mampu tersipu, kembali menjadi topik pembicaraan diantara perempuan-perempuan Mangkunegaran.

Jangan heran mengapa mereka bisa mengobrol dengan leluasa. Acara pengajian baru saja selesai dan saat ini memang mereka sedang menikmati hidangan yang disediakan disana.

"Budhe Arum ini yang punya Mahogany Ndhis," kali ini Diaz tersenyum dengan mata mengarah pada bangunan yang berada tak terlalu jauh dari Pendopo.

Gendhis langsung membulatkan matanya, sedikit terkejut dengan informasi baru yang dirinya terima. "Aduh, kehormatan sekali bisa ketemu Budhe," ucap Gendhis masih dengan wajah tidak percaya.

Tangan Budhe Arum bergerak. "Jangan percaya, Budhe cuma bantu-bantu aja di Mahogany. Mbakmu ini memang berlebihan sukanya," elak Budhe Arum dengan senyum tipis.

"Iyain aja, Ndhis,"

Dengan cepat Budhe Arum memukul lengan Diaz pelan, sebuah reflek yang langsung membuat Gendhis dan Alicia tertawa pelan disana.

Entah sudah berapa jam Gendhis berada di antara tamu serta keluarga Mangkunegaran sore itu.

Alicia yang terus bersama dengan Gendhis dan Diaz, serta kerabat lain yang seolah sangat open dengan kehadiran Gendhis disana.

"Budhe tinggal dulu, Diaz sama Gendhis jangan lupa icip hidangan yang lain loh," pamit Budhe Arum dengan tangan menepuk pundak Gendhis dan Diaz bersamaan.

Sepeninggalan Budhe Arum, Gendhis memilih untuk menikmati beberapa hidangan yang dirinya ambil. Tentu saja, menikmatinya sembari mendengarkan celotehan Alicia yang tiada habisnya.

Sejak kedatangannya beberapa waktu lalu, Gendhis sama sekali belum berinteraksi dengan laki-laki yang membawanya kesana.

Ya, Riga sama sekali belum menemui Gendhis. Perempuan itu hanya melihat Riga dari kejauhan saat acara pengajian beberapa waktu lalu.

Laki-laki dengan beskap hitam dan blangkon batik duduk disamping Ibu Martha, mendampingi Sena dan Suja bersama kedua orang tua Suja di depan sana.

Setelah itu, hingga detik ini Gendhis belum lagi melihat Riga. Tak masalah, mungkin Riga memang sedang menyambut tamu undangan lain. Tapi, bukankah Gendhis juga tamu disini? terserahlah.

"Astaghfirullah," desis Gendhis saat ponselnya tidak sengaja tersenggol dan jatuh ke bawah. Perempuan itu langsung menundukkan tubuh untuk mengambil benda pipih tersebut.

"Eh—"

Gerakan Gendhis terhenti, sebuah tangan langsung menarik ponsel miliknya di bawah sana.

"Hati-hati, Mbak Gendhis," suara bariton itu berhasil membuat Gendhis terdiam. Suara yang entah mengapa Gendhis nanti sejak kedatangannya disana.

Kembali menegakkan tubuh, Gendhis sempat berdeham pelan. Berusaha mengembalikan suaranya yang tiba-tiba hilang karena terkejut.

Riga duduk di kursi kosong samping Gendhis, kursi yang entah sejak kapan ditinggalkan oleh si pemilik—Alicia—dan membuat perempuan itu langsung mencari keberadaan dua perempuan lain yang tiba-tiba menghilang.

The StationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang