"Loh, berarti Mas sendirian?"
Gendhis menatap layar pipih di hadapannya dengan tatapan terkejut, perempuan itu bahkan sampai menjeda kegiatannya.
Ada senyum hangat yang terbentuk di ujung sana, laki-laki itu mengangguk pelan dengan pertanyaan perempuannya.
"Iya, seharusnya didampingi Ibu. Tapi, karena HPL Mbak Sena udah hitungan hari jadi aku cuma sama Budhe dan Mbak Rumi," balas pelan Riga. "Ternyata kangen juga aku sama Mangkunegaran , Mbak," lanjut Riga terkekeh pelan disana.
Lagi-lagi gerakan Gendhis terhenti, menatap lurus ke arah laki-laki dengan kaos berwarna hitam itu. "Kalau nggak kangen, malah aneh nggak sih Mas?" tanya Gendhis dengan nada tak percaya.
"Iya juga, ya,"
Memamerkan deretan giginya, Riga mengangguk-anggukan kepala setuju dengan ucapan Gendhis.
"Anehnya, tiba-tiba aku ingin kembali ke Mangkunegaran, Mbak," gumam Riga dengan tatapan wajah datar. "Ternyata dua bulan terakhir aku melewatkan beberapa acara di Mangkunegaran dan aku baru sadar hari ini," lanjutnya dengan nada penuh penyesalan.
Perempuan itu bisa melihat dengan jelas bagaimana senyum tipis itu dipaksakan untuk mengembang di sana. Bagaimana Riga yang terlihat sedang berpikir akan sesuatu di seberang sana.
Tak ada hal apapun yang Gendhis ucapkan, perempuan itu seolah menunggu segala hal yang mungkin akan Riga keluarkan. Gendhis memilih untuk menemani Riga dengan segala isi pikirannya dari jauh.
Mengulum bibirnya, Riga kembali menegakkan kepalanya. "Aku bisa adil nggak ya, Mbak? Menjalankan kewajiban Riga sebagai Mangkunegaran sekaligus Riga sebagai wakil menteri," lirih Riga pelan.
Laki-laki itu mengusap wajahnya, terlihat cukup banyak pikiran. Wajah Riga juga terlihat kelelahan. Tidak seperti yang terakhir Gendhis temui dua bulan lalu.
"Mas," panggil Gendhis dengan nada pelan. Perempuan itu diam-diam sudah menggenggam kapas yang akan diambilnya. "Is it hard?" lanjut Gendhis bertanya dengan lirih.
Tak ada jawaban di seberang sana, Riga hanya menipiskan bibirnya tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibirnya.
Melihat tak ada respon dari laki-laki itu, Gendhis menghela napas panjang. "Mungkin aku belum pernah ada di posisi Mas Riga sekarang. Tapi, kalau empat tahun lalu Mas Riga bisa beradaptasi dari laki-laki biasa yang tiba-tiba harus menjadi Mangkunegaran... itu artinya yang kali ini juga akan berhasil seperti kemarin kan, Mas?" dengan lembut dan hati-hati Gendhis mengucapkan kalimat itu.
Kepala Gendhis terangguk pelan, "Mas Riga ngerasa nggak adil karena situasinya berubah, Mas. Dari yang perhatian penuh hanya buat Mangkunegaran, sekarang harus dibagi dua sama negara. Berat memang, tapi aku selalu percaya ketika kita ditempatkan pada satu situasi, itu artinya Tuhan tau kalau kita dan hanya kita yang mampu," lanjut Gendhis dengan sebuah senyum lembut khasnya disana.
Ada helaan napas yang kembali terdengar disana, Riga mengangguk-anggukan kepala dengan senyuman tipis disana. "Tadi waktu sampai ke Mangkunegaran rasanya beda dari terakhir aku pulang. Mungkin sedih, dari yang biasanya dua minggu sekali pasti pulang kesana, sekarang hanya ketika ada acara," perlahan Riga kembali membuka mulutnya.
Laki-laki itu tersenyum, bahkan ada kekehan kecil yang keluar dari bibirnya. Tapi, itu bukan sebuah tawa bahagia. Gendhis paham benar bagaimana campur aduknya perasaan Riga saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
RomansaBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...