Dengan tangan terpasang jarum infus, Gendhis hanya mampu meringis merapikan rambut panjangnya.
Melihat salah satu saluran berita yang sudah terputar pada layar empat puluh inci di depannya, mulai menerima kenyataan jika dirinya tertahan di deluxe room itu.
Seharusnya dirinya sudah berada di dalam kereta menuju Jakarta siang ini, bukannya berada di SMC dengan tangan terpasang jarum infus.
"Maaf ya, Na. Tolong sampaikan maaf ke Pak Anton sama Bu Ratih ya, Na," ucap Gendhis dengan suara serak.
"Nggak apa Mbak Gendhis, yang penting sehat dulu Mbak Gendhisnya biar yang disini aku sama Mas Andre yang handle. Nanti aku sampaikan ya, Mbak," balas Khisna dengan lembut. "Yaudah ini aku sama Mas Andre mau jalan, semoga lekas membaik Mbak," sambungnya.
Gendhis meringis, berusaha mengurangi sakit di tenggorokannya. "Iya, Na. Semangat, ya," lirih Gendhis sebelum menutup panggilan itu.
Kembali merebahkan tubuhnya, Gendhis mengangkat tangan kanannya yang terpasang infus ke kening, menutupi sebagian wajahnya.
Rasanya sepi, ruang rawat itu terasa sangat sepi. Hanya suara siaran televisi yang dipilihnya asal, tak ada siapapun disana.
Bunda baru saja pulang ke rumah untuk mengambil beberapa keperluan serta pakaian bersih untuknya, sedangkan Ayah juga sudah berangkat ke proyek setelah mengurusinya tadi.
Ya, pagi tadi akhirnya Gendhis menyerah. Perempuan yang awalnya kekeuh tidak mau dibawa ke rumah sakit itu akhirnya menuruti paksaan Bunda, setelah mengeluarkan sarapannya pagi tadi.
Semalam tubuhnya menggigil hebat, padahal AC di kamarnya sudah dimatikan. Ditambah tenggorokannya juga ikut sakit, seperti terisi oleh biji kedondong membuatnya semakin kesulitan.
Suara pintu terbuka membuat Gendhis melirik sekilas, melihat siapa yang datang. Karena Bunda sudah berpesan akan kembali setelah dzuhur nanti.
"Mbak Gula,"
Suara yang sangat Gendhis kenali itu berhasil membuatnya berdecak, bahkan Gendhis langsung menatap perempuan yang datang dengan setelan lengkap dari Alexander McQueen berwarna beige itu dengan tatapan tak percaya.
Mendesis pelan, Gendhis menatap Laras yang sudah meletakkan Sofia 11.75 yang dirinya bawa pada sofa hitam dekat tempat tidur Gendhis.
Larasati Tedjo ini memang luar biasa, bagaimana teman baiknya yang setengah jam lalu baru saja ia kirimkan kabar sudah berada disana? bahkan melihat penampilannya saja bisa Gendhis pastikan jika perempuan itu melarikan diri dari kantornya.
"Enak banget ya kalau ngantornya di tempat Bapak tuh, bisa langsung main bolos," gerutu Gendhis melirik perempuan yang sedang melakukan room tour itu.
Benar saja, tawa Laras langsung terdengar. Perempuan itu hanya tersenyum menarik benda pipih dari tas yang ia bawa. "For your information, jadwalku hari ini cuma meeting sama klien. Kan udah selesai, jadi yaudah dong tuntas," balas Laras tak terima.
Laras menatap Gendhis dari samping bed, perempuan itu bahkan berkacak pinggang layaknya seorang ibu kost. "Nggak biasanya sampai kayak gini, lagi kejar setoran banget kah, Ndhis?" heran Laras dengan tatapan cukup tajam.
Ah, Gendhis benci tatapan Laras itu. Jujur saja, selama bertahun-tahun mengenal seorang Eiliyah Larasati Hana Tedjokusumo tidak sekalipun Gendhis nyaman dengan cara tatap perempuan itu yang satu ini.
Laras memiliki tatapan mata cukup tajam bagi seorang perempuan. Ditambah dengan wajah menawan namun terlihat dingin itu.
"Kerja lah, maklum masih jadi tulang punggung buat diri sendiri," balas Gendhis asal. Perempuan itu bahkan hanya terkekeh pelan melihat Laras yang membuat gesture ingin muntah. "Seminggu ini aku cuma tidur dua jam, Ras. Ditambah kamu tau sendiri kemarin habis ada kejadian di proyek, mana sempat aku mikir tidur kalo kerjaan berantakan," lanjut Gendhis menjelaskan.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
RomanceBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...