Gendhis segera meletakkan ponsel miliknya kembali saat pintu mobil terbuka. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna melihat laki-laki yang baru saja masuk dengan dua cup minuman di tangannya.
"Hot chocolate signature," ucapnya pada Gendhis. "Beneran cuma mau disini aja?" lanjutnya memastikan.
Kepala Gendhis menggeleng cepat, menyesap minumannya perlahan. "Enak disini aja," balasnya setelah berhasil meneguk minuman manis itu. "Ini tempat nongkrongku kalau lagi nggak mau berisik," sambungnya mulai sibuk menurunkan kaca di samping kirinya.
"Tapi disini kan malah bising sama suara kendaraan?" heran Riga. Laki-laki itu sudah mengatur kursi yang didudukinya, membuatnya senyaman mungkin.
Mengangguk pelan, "iya, mending bising sama suara kendaraan daripada sama suara orang ngobrol, Mas," jawab Gendhis cepat.
Perempuan itu menatap laki-laki di sampingnya dengan cukup lekat. Bahkan posisinya duduk sudah menghadap ke arah kanan, tempat Riga duduk disana.
Riga membalas tatapan mata Gendhis, laki-laki itu ikut menempatkan diri seperti yang Gendhis buat. "Kalau satu ini pinter sih milihnya, bisa merenung sambil nonton city light," lirih Riga dengan senyum tipis.
Kepala Gendhis kembali mengangguk, perempuan itu juga membawa tangan kanannya guna menyangga kepala. "Mau cerita tipis-tipis nggak, Mas?" pertanyaan yang terdengar seperti tawaran itu keluar bagitu saja dari bibir Gendhis.
Mengerucutkan bibirnya, Riga terlihat sedang berpikir disana. "Cerita? cerita apa ya?" gumamanya mencoba mengingat hal disana. "Atau Mbak Gendhis mau mulai lebih dulu?" lanjutnya setelah beberapa detik diam.
Gendhis bergumam pelan, "aku juga bingung, soalnya terlalu banyak yang harus aku tau dari Mas Riga," suara Gendhis terdengar sangat tenang dan lirih. "Aku bahkan tau tanggal ulang tahun Mas Riga dari Google," lanjut Gendhis yang diakhiri dengan tawa pelan.
Riga ikut tertawa mendengar pengakuan Gendhis, laki-laki itu bahkan sampai tidak habis pikir dengan apa yang perempuan itu ucapkan. Tidak menyalahkan, nyatanya itu adalah hal yang paling mungkin untuk saat ini bagi keduanya. Terutama bagi Gendhis, dimana memang jika mencari informasi basic akan lebih mudah disana apalagi karena yang ia cari adalah informasi tentang seorang Auriga.
"Mas Riga tau nggak kapan ulang tahunku?" kali ini Gendhis menatap Riga dengan penasaran. Perempuan itu seolah sedang menguji pengetahuan laki-laki di sampingnya.
"Yang waktu itu aku kirim bunga, bener 'kan?"
Mendengar balasan cepat itu Gendhis langsung membulatkan matanya, sedikit terkejut dengan jawaban Riga. Mengingat jika rasanya tidak mungkin jika laki-laki itu menanyakan hal sepele itu kepada Mas Sekha.
"Tahun lalu aku yang temani Mas Sekha cari kado buat kamu, Mbak. Eh nggak nyangka aja, bulan lalu ternyata aku juga cari kado buat Mbak Gendhis," jelas Riga menjawab pertanyaan yang memenuhi benak Gendhis.
Apa ada tulisan panjang di keningnya? Gendhis tidak menyangka bahwa apa yang terlintas di benaknya langsung tertransfer dengan sempurna pada Riga, atau malah wajahnya mudah sekali terbaca? terserahlah, yang lebih penting sekarang Gendhis masih terkejut disana.
"Yang bulan lalu sekalian antar Mas Sekha juga?"
"Ya enggak, malah aku lebih dulu belinya itu," potong Riga dengan cepat. Laki-laki itu bahkan langsung menegakkan tubuhnya menatap Gendhis, "malahan aku yang ingetin Mas Sekha, Masmu itu lagi sibuk-sibuknya waktu itu," lanjutnya lebih santai.
Gendhis ingat benar saat seseorang mengantarkan sebuah buket bunga cukup besar ke kantor. Sebuah kiriman yang langsung membuatnya menjadi bahan perbincangan oleh timnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
RomanceBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...