3. We Found Hope

37.1K 3.5K 31
                                        

Jika Gendhis pikir kejadian aneh hari ini akan berakhir dengan dirinya yang tiba-tiba harus berganti dengan sebuah sweat shirt yang berukuran hampir dua kali tubuhnya dan tiba-tiba harus berpindah duduk di samping seorang laki-laki yang asing, maka silahkan memberi angka nol untuk itu.

Disinilah Gendhis malam ini, duduk bersebelahan dengan Auriga. Laki-laki yang beberapa menit lalu meminta untuk mengantarkannya kembali ke hotel.

Ya, Riga sempat menanyakan hotel tempat Gendhis menginap begitu tau jika perempuan itu akan memesan taksi online.

"Udah hampir jam setengah sepuluh, Mbak Gendhis, bahaya buat perempuan naik taksi sendirian."

Jangan tanya apakah ada penolakan yang Gendhis beri, karena nyatanya tekad Auriga lebih kekeuh dibanding penolakan yang Gendhis beri. Dengan dalih rasa bersalah, laki-laki itu akhirnya berhasil membuat Gendhis setuju untuk diantar menuju Sheraton.

"Mbak Desi, boleh minta kontaknya? buat saya hubungi nanti kalo sweatshirtnya udah selesai saya laundry," kalimat itu keluar dari bibir Gendhis begitu mobil yang dikemudikan oleh Bima memasuki Jalan Raya Solo-Jogja, dengan santai Gendhis bahkan langsung menyodorkan ponselnya pada Desi yang duduk di samping Bima.

Dehamam keras Riga sempat membuat Gendhis kebingungan, mengapa Desi tidak langsung menerima uluran ponsel miliknya—hingga matanya langsung menatap Auriga—kebingungan, "kasih aja Desi, nggak papa," kata Riga membalas tatapan Gendhis sekilas.

Dengan satu kalimat datar itu, dengan cepat Desi menarik uluran ponsel milik Gendhis, mengisikan barisan angka pada benda pipih itu.

Sebuah getaran ponsel Gendhis terasa, menampilkan salah satu nama yang seharian ini berusaha ia hindari.

Revina Syane is calling...

Andai saja sekarang Gendhis tidak berada di dalam mobil orang lain, mungkin perempuan itu akan membiarkan suara getaran ponsel itu lenyap tanpa mengangkatnya, tapi kali ini berbeda. Karena Gendhis tau suara itu membuat si pemilik mobil tidak nyaman sekarang, apalagi Bima sampai melirik sekilas melalui spion tengah.

"Halo, Rev, gimana?" sapa Gendhis setelah beberapa detik memberi jeda untuk dirinya sendiri-mencoba untuk bersuara senormal mungkin-memaksakan sebuah senyum timbul disana.

Suara helaan napas Revi terdengar jelas di ujung sana, "kamu kenapa malah ke Jogja sih, Ndhis?" nahkan, sesuai dugaan Gendhis sejak awal. Revi tidak akan membuat ini menjadi mudah-atau malah dirinya sendiri-sebuah kalimat yang membuat satu perasaan aneh itu muncul lagi.

Gendhis hanya mampu menggigit bibir bawahnya, sebelum senyuman yang sempat hilang kembali muncul di bibirnya, "sorry, Rev, aku panik banget waktu tau kalau pertunjukan outdoor cuma sampai bulan ini, jadi impulsif banget sampai lupa ternyata jadwalnya bareng sama acara kamu," dengan pelan Gendhis berusaha menetralkan suaranya.

"Kan masih ada pertunjukan lain, ya kan, Ndhis?" sebuah kalimat yang sarat dengan sebuah rasa kecewa yang berhasil Gendhis rasakan dengan jelas disana.

Gendhis memilih mengalihkan wajahnya kembali ke kaca di samping kirinya, "minggu depan aku harus ke Surabaya, Rev, dan ini minggu terakhir yang bisa aku ambil buat jeda dan kebetulan pertunjukan yang aku mau cuma ada minggu ini sama minggu depan," mencoba jujur, Gendhis hampir saja menangis jika saja tidak berada di dalam mobil milik orang lain sekarang.

Ada decakan tak terima dari Revi di ujung sana, "acaraku kan nggak akan diulang lagi, Ndhis," benar kan, satu lagi hal yang absen dari pertimbangan Gendhis, rasa kecewa Revina.

Gendhis paham dengan rasa kecewa yang teman baiknya itu rasakan, dan saat ini ada rasa nelangsa yang menusuk dada Gendhis karena bersikap sedemikian hingga timbul kekecewaan yang ketara dari suara Revi.

The StationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang